Rabu, 25 Maret 2015

Cerpen "Cinta Si Bungsu"


Lihat List Koleksi CerPen Klik disini
CINTA SI BUNGSU

Allah menciptakan manusia dengan berbagai macam sifat dan tingkah laku. Menghadirkan benih–benih cinta pada setiap hati garang sebuas singa. Sungguh Allah maha mulia, Tuhan penguasa semesta alam, tiada tuhan yang patut disembah melaikan Allah sang khalik. Alhamdulilah, segala puji bagi Allah hari ini tahun terakhirku menempuh pendidikan S1. Empat tahun aku berjuang di Surabaya mengapai masa depan. Do’a dari orang–orang terkasih, Ayah dan Ibu serta saudara–saudaraku mengiringi langkahku membawa sukses. Ibu tak pernah henti–hentinya menberi semangat dan nasehat, mensport setiap langkahku, mendukung setiap apa yang menjadi impianku. Sungguh luar biasa satu persatu impian yang aku rencanakan dari awal terkabul seizin Allah.
Ibu, Ibu, dan Ibu selalu aku pangil sebagai sandaran tiap kali aku terjerat masalah yang menurutku terlalu berat bagiku. Saudara–saudaraku sering memangilku mother complex, mungkin karena aku anak terakhir, atau mungkin pula ibu terlalu memanjakan aku. Aku tidak pernah tersinggung dengan pangilan itu, beliaulah yang berperan penting dalam kesuksesan dan kedewasaanku hingga aku berhasil menyandang gelar sarjana pendidikan. Walau hanya sarjana pendidikan, tapi aku bangga dengan pilihanku.
***
Mojokerto, 28 Oktober 2010.
“Permisi  mas, formulir pendaftaran untuk lowongan guru sebelah mana ya?.”
“Subghannallah, Maha suci Allah sungguh luar biasa ciptaan—Nya.” Aku tercengang dan terkagum – kagum memandang wajahnya.
“Mas, hallo.....oo.” Sapa dan lambaian tangan dia menyadarkan aku dari kekaguman.
“Ech ya mbak, meja nomor dua. Kebetulan saya juga mau ambil.”
“Loch!!, Mas peserta juga?. Maaf mas saya kira panitia, mau ambil formulir guru apa?.”
“Otomotif, kalau mbak.”
“Kimia.”
Awal pertemuanku dengan Eva gadis cantik kelahir malang. Aku dan Eva sama–sama mendaftar ujian CPNS (Calon pegawai negeri sipil) di kota Mojokerto. Silahturahmi kami terjalin melalui alat komunikasi hand phone, dan bahkan ketika ujian berlangsung kami berada dalam satu ruangan.
Mungkin belum saatnya kami menerima rezeki itu, Allah belum memberi ijin kami diterima sebagai CPNS (Calon pegawai negeri sipil). Aku memutuskan mengawali karirku di salah satu SMK (Sekolah menengah kejuruan) tempat saat ini aku berdomisili. Walau hanya sebagai guru GTT (Guru tidak tetap), aku merasa senang. Rosululloh bersabda:
“Barang siapa yang menyampaikan satu ilmu dan orang tersebut mengamalkan, maka dia akan memperoleh pahala walaupun sudah tiada.”
Aku juga membuka bengkel otomotif sebagai kesibukan di rumah. Dari silahturahmi yang terjalin, aku mengetahui Eva mengajar di SMA Malang tempat kakak iparku juga mengajar. Aku sering bertemu dia saat berkunjung kerumah kakak. Kontrakan kakak hanya berselang dua rumah dari rumah Eva. Pertemananku dengan Eva semakin erat, ada sesuatu terasa tidak enak di hatiku dan dadaku terasa sesak. Gerak–gerik tingkah lakunya membuatku terpesona akan keindahan tutur bahasanya. Aku mulai kebingungan dengan perubahan ini, apakah mungkin aku mengalami nafsu emosi cinta?. Semoga Allah masih membekaliku iman untuk mengontrol berbagai macam bentuk nafsu ciptaan—Nya jika itu terjadi.
Guncangan diri dan jiwa membuat setiap sujud aku memohon pada Allah. “Ya Allah...., ridhoi, bila suatu saat aku jatuh cinta, pertemukan aku dengan seseorang yang hatinya penuh kasih—Mu dan membuatku semakin mengagumi—Mu.” Do’a harapan, akhir–akhir ini cukup bisa membuat hati jadi tenang. Eva gadis cantik insyaallah secantik Fatimah Az—zahra putri Nabi Muhammad SAW, tidak hanya cantik parasnya tapi juga penyayang dan lembut tutur katanya. Diakah calon kekasih hatiku, ibu dari anak–anakku kelak.
Walau do’a–do’a sudah istiqomah terucap, namun tak dapat dipungkiri, aku butuh seseorang yang bisa membantu menenangkan rasa gundah di hatiku. Aku malu mengungkapkan semua ini pada ibu, tidak biasanya aku bisa menyembuyikan setiap masalahku pada ibu. Aku sendiri merasa bingung dan linglung, kenapa dalam hal ini aku bisa begitu rapat menutupnya. Padahal beberapa kali ibu berusaha menawarkan diri membantu meringankan beban pikiranku. Penyakit cinta sunggu membingungkan. Temanku banyak yang bercerita, punya kekasih itu menyenangkan, hidup jadi penuh warna. Aku tidak pernah merasa iri atau kepengen dengan kebahagian karena cinta yang mereka rasakan. Ibu menasehatiku untuk tidak pacaran sebelum aku menyelesaikan studi S1, dan aku menjaga amanat tersebut sampai hari ini.
***
Malang, 30 Januari 2012
Menyita waktu, pikiran, dan pekerjaan menumpuk terbengkalai, sungguh dasyat pengaruh cinta. Aku harus bisa melawan kekuatan cinta yang berkecamuk di hatiku, dan segera mendapatkan obat penawarnya.
“Di, kripik pisangnya ko’ didiamkan saja to?.”
“Mbak obat penawar cinta....”
“Ech, adik kecilku sedang jatuh cinta to ini.” Ledek kakak ipar memotong tannyaku.
“Aku sudah dewasa mbak.” Balasku dengan tidak bergairah, masih dengan perasaan yang berkecamuk dihatiku.
“Tetap saja to, wong kamu anak paling bungsu ko’.” Jawab kakak iparku yang demen baget ngeledi aku dengan ledekan–ledekan manis sambil sekali–sekali tertawa kecil.
“Huuffh....” Aku membuang nafas dan menoleh pada kakak ipar. Sepertinya dia paham apa yang aku rasakan saat ini, dan aku sedang butuh dukungan dan semagat darinya.
“Obat penawar cinta itu hanya pernikahan, kalau kamu sungguh–sungguh dengan hati dan perasaan kamu, katakan secepatnya pada dia jangan ditunda, jangan takut penolakan, jika Allah berkehendak, yang tidak mungkin pun akan menjadi mungkin.”
“Insyaallah aku akan secepatnya mengabarkan ini padanya.” Aku menanggapi nasehat kakak.
“Allah itu mengetahui apa yang tidak kita ketahui Di, mau kamu jalani besok atau sekarang hasilnya akan sama.”
“Kalau menurut mbak itu lebih baik, akan aku temui dia saat ini juga.”
“Siapa gadis itu Di.” Tanya kakak iparku penasaran
“Eva.”
“ Eva...?, sejak kapan?.”
“Rasa itu mengalir dengan sendirinya mbak, aku nggak tahu kapan tepatnya.”
“Bergegaslah semoga sukses.”
Semangat kakak ipar membuatku semaki yakin dengan apa yang aku dapatkan nanti. Aku langkahkan kaki dengan hati tenang, berdo’a dan berharapan semoga Allah ada bersama dengan perjuanganku ini. Langkahku terhenti ketika di depan pagar pekarangan rumah Eva, sore itu aku melihat Eva sedang membersika halaman rumah, aku jadi gamang untuk melangkahkan kaki menyapa dia. Pantaskah bertamu di rumah seorang gadis sore hari gini, tapi sepertinya masih mending dari pada malam hari. Aku binggung antara iya dan tidak. belum selesai aku berdebat dengan hatiku sendiri, Eva memangiku dari halaman rumah.
“Mas Adi ngapain benggong di situ, tar kesambet loch!.” Sapa Eva.
“Ech iya, ni mau kerumah kamu.”
“Ko’ nggak masuk, sini masuk.”
Aku turuti perintah Eva masuk halaman rumah. “Sepi baget Va, pada kemana yang lain.”
“Ada ko’!, semua lagi sibuk di dalam, mas Adi cari siapa?, bapak, ibu, atau....”
“Aku ada perlu sama kamu.” Aku potong bicara Eva.
“Ada apa mas, tumben sore gini, sepertinya penting baget.”
“Ini mungkin tidak penting buat kamu, tapi sangat penting buatku.”
“Pembicaraan ini rasanya ada yang aneh, tidak seperti mas Adi biasanya.”
“Gini Va.” Aku tarik nafas dan menghembuskannya.
“Udah langsung saja mas.” Sela Eva sambil tersenyum simpul.
“Sepertinya aku sudah tidak bisa menyimpan perasaan ini lagi Va, rasa ini terlalu sakit untuk disimpan dan sangat menganggu aktifitasku, aku butuh obat penawar hati, dan aku ada hati pada-mu.”
Eva terdiam terpaku mendengar ucapanku, pandangannya menerawang jauh seolah pandangan kosong. Matanya berkaca–kaca dan mengalir lembut air mata di pipinya. Aku merasa bersalah sudah mengatakan itu semua hingga membuat dia menangis. “Va, maafkan aku jika ucapanku tadi tidak berkenan di hati kamu, lupakan saja, anggap aku tidak pernah berkata apapun hari ini padamu.”
“Enggak mas, justru aku senang sekali dengan apa yang sudah mas katakan tadi.”
“Lalu kenapa kamu menangis Va.”
“Tagisku ini tangis bahagia mas, apa yang mas rasakan sama dengan apa yang aku rasa, kalau mas serius dengan apa yang sudah mas katakan, jadikan apa yang kita rasakan ini halal. Mintalah ijin pada bapak dan ibu mas, semoga beliau merestui tujuan kita.”
“Amien.” Aku mengamini ucapan Eva.
***
            Aku stater sepedah motor supraku meluncur ke-Mojokerto, karena saking senangnya perjalanan terasa nikmat dan tidak terasa sudah nyampek rumah. Tidak sabar aku ingin memberi kabar pada ibu dan meminta ijin pada beliau untuk meminangkan Eva. Aku parkir motor didepan rumah, melepas helm dan jaket lalu masuk rumah menghampiri ibu untuk mencium tangan beliau. Beliau terlihat senang sekali dengan kehadiranku, seolah tidak bertemu putranya selama setahun, padahal aku cuma berlibur di Malang dua hari saja. Aku toleh ruang keluarga, biasanya ayah nanton TV di situ tapi tempat duduknya terlihat kosong, ada dimana beliau?.
            “Ibu, Ayah tidak terlihat.” Tanyaku sambil menghempaskan badan di tempat duduk samping ibu melepas lelah.
            “Mandi. Kamu madi juga sana, biar lelahnya hilang dan jangan lupa sholat ashar.”
            “Ibu.”
            “Apa lagi, sudah sana mandi dulu.”
            “Nanti malam ada yang mau saya bicarakan sama ibu dan ayah.”
            “Iya,  Asharnya mau habis itu.”
            Guyuran air menyegarkan badanku, memang benar mandi itu bisa menghilangkan sebagian kelelahan. Selesai mandi aku lanjut sholat ashar dan menunggu adzan magrib yang kurang beberapa jengkal lagi. Sambil menunggu adzan magrib aku lantunkan ayat suci Al–Qur’an, biar hati ini tambah damai dan semakin mantap menyampaikan keinginanku pada orang tuaku.
            Akhirnya makan malam keluarga yang aku tunggu–tunggu tiba, seperti biasa kami makan malam bersama, ayah, ibu dan aku. Rutinitas ini sudah ada sejak aku kecil, dulu kami berlima tapi sejak kedua kakakku berkeluarga, kami tinggal bertiga saja. Makan rasanya lebih nikmat bila bersama keluarga, masakan ibu memang nomor satu tidak ada duanya. Teringat ketika masih kuliah dulu, aku selalu merindukan masakan ibu. Rasanya memang beda dengan masakan yang aku nikmati diwarung–warung, mungkin orang menilai lain tapi bagiku masakan ibulah yang nomor satu dan tidak akan tergantikan.
            “Le, Adi. Tadi sore bukannya kamu mau membicarakan sesuatu pada ayah dan ibu.” Ibu membuka percakapan setelah usai makam. Kami sering mengunakan waktu usai makan sebagai tempat sharing.
            “Ayah, ibu, Adi merasa sudah cukup dewasa dan bisa menafkahi diri sendiri. Adi punya rencana menjalankan sunah Rasul, membina rumah tangga. Mohon ayah dan ibu memberi izin untuk rencana Adi ini.”
            “Kalau kamu sudah merasa mampu menjalankan sunah rasul satu ini, kenapa tidak Le, menunggu apa lama–lama menyendiri.” Tangapan ayah sunggu bijak, tidak pernah beliau menyudutkan aku disetiap keputusanku.
            “Siapa gadis pilihan kamu itu Le, apa ibu mengenal dia.”
            “Gadis itu teman mengajar mbak Farida di Malang sekaligus tetangga Bu.”
            “Katakan pada keluarganya, minggu depan kita akan silahturahmi kerumahnya.”
            “Terimakasih Ayah, dengan senang hati segera aku kabarkan berita ini.”
            Malam ini juga aku telepon Eva mengabarkan berita gemberi ini. Lengkap sudah kebahagianku, seolah keberuntungan selalu berpihak kepadaku. Kebahagiaan menyelimuti kami berdua, kebahagian yang semoga akan terus berlanjut hingga esok Allah memangil kami untuk menyudahi kehidupan di bumi. Terimaksih yaa Allah, untuk semua yang telah engkau berikan kepada kami.
            Dua minggu terasa begutu lama, hatiku berdebar–debar menanti hari pertemuanku dengan Eva. Semoga Eva jauh di sana juga merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Allah menciptakan segala sesuatunya berpasang–pasangan, dan insyallah aku sudah menemukan pasanganku. Eva begitu sempurna di mataku, tidak ada satu pun kekurangan terdapat pada dirinya. Dia benar–benar wanita idamanku, semua keteria yang aku ukir di benakku selama ini ada pada diri dia. Eva gadis cantik dan polos, lembut tutur kata dan bahasanya, angun bahasa tubuhnya. Eva, hari–hariku dihantui bayangan Eva dalam penantian. Seharusnya aku sadar kalau semua ini hanya ujian kesabaran dari Allah yang ditujukan kepadaku sebagai tanda kasih sayangnnya.
***
Malang, 13 februari 2012.
            Kedatanga keluarga kami disambut gembira keluarga Eva, silaturahmi terasa hangat dengan perbicangan–perbincangan diselingi canda-gurau. Bapak–bapak lebih aktif bicara dibanding ibu–ibu dan anak–anak lebih memilih diam, seperti aku hanya diam saja menjadi pedengar setia, sekali-sekali menengok kedalam ruang keluarga berharap Eva ada di sana, dan harapanku sia–sia Eva tidak terlihat, kemana dia?.
            “Nak  Adi.”
Aku menoleh pada pangilan ayah Eva. “Iya pak.”
“Benar–benar sudah sanggup jadi pemimpin dan panutan bagi Eva anak bapak.” Ayah Eva mencari kebenaran.
“Insyaallah sanggup, Pak.” Jawabku mantap.
“Adi ini anak saya paling bontot mbak yu, maklum kalau dia sedikit manja walau sudah dewasa.” Sela cakap ibu pada ibu Eva.
“Waah....., ya sama, Eva juga anak terakhir saya. Kadang kalu lagi muncul manjanya itu loch, iyakan pak.” Ibu Eva minta persetujuan pada suaminya.
Muka ibu tiba–tiba menjadi muram mendengar perkataan ibu Eva. Seseolah ada yang salah dengan perkataan ibu Eva. Apa ibu tidak menyukai kalau Eva manja?, tapi tidak mungkin, menurut beliau aku toch juga manja. Sebenarnya apa yang ada di pikiran ibu saat ini?, Pikiranku berkelut menerka–nerka. Aku lihat ibu menoleh pada ayah menunjukkan ketidak sukaannya, namun bapak menangapi dengan ketenangan. Ya Allah ada apa ini, apa yang bakal terjadi.
“Kang mas, Mbak yu, sebelumnya mohon maaf. Sepertinya silaturahmi ini tidak bisa dilanjutkan.” Ayah mengakhiri pertemuan dua keluarga ini.
Ayah dan ibu Eva terlihat kaget dengan keputusan ayah. Kerut di dahi mereka memperlihatkan kebigungan. Ayah dan ibu Eva saling bertatap muka seolah mencari kesalahan pada pihaknya. Mereka sama tidak mengertinya denganku, tidak mengerti kesalahan apa yang muncul dipertemuan keluarga ini.
“Tunggu dulu kang mas, sebenarnya ada apa ini, apa ada yang salah pada pihak kami.” Tanya ayah Eva binggung.
“Kami mohon maaf yang sebesar–besarnya, adat keluarga kami tidak bisa menikahkan anak bila bungsu ketemu bungsu.” Ayah menjawab kebingungan ayah Eva.
“Tolong dipikirkan lagi kang mas.” Mohon ayah Eva.
“Insyaallah kami akan mencari solusi dan jalan tenggahnya.”
Perjalanan pulang terasa sunyi tidak sepatah kata keluar dari mulut kami, seolah tidak ingin membahas kembali apa yang sudah terjadi tadi. Ingin aku buka pembicaraan, namun aku urungkan niatku. Biar saja perjalanan ini hening menenangkan hati masing – masing. Mungkin yang terjadi tadi hanyalah emosi sesaat, semua masih bisa dibenahi. Semoga kediaman ini bisa mendiginkan otak kedua orang tuaku, dan bisa mengerti zaman modern seperti saat ini haruslah mengunakan pikiran logis untuk memutuskan sesuatu. Bukan malah mempercayai pemikiran tanpa dasar yang kuat.
***
            Mojokerto, 13 februari 2012. Santai di ruang keluarga usai makan malam.
“Yah, apa keputasan ayah dan ibu tadi sudah final?, ini zaman modern yah, haruslah mengunakan pemikiran logis untuk memutuskan sesuatu.”
“Ayah ngerti Le, semua tergantu ibu kamu.”
Belum aku ngomong sepatah kata, ibu sudah menitihkan air mata. Seolah menanggung beban yang amat berat. “Le, Adi, ini bukan masalah logis atau tidak logis. Tapi tentang apa yang sudah terjadi dalam kehidupan nyata.” Air mata ibu semakin bercucuran.
“ Tapi Bu....” aku hampiri ibu, aku sentuh tanggan beliau dan mataku berkaca–kaca.
“Jangan memaksa ibu Le, jika diteruskan ini akan menjadi balak, petaka bagi rumah tangga yang akan kamu bina.” Nasehat Ibu sambil mengusap kepalaku dan masih tetap meneteskan air mata.
“Jodoh, rezeki, hidup dan mati hanya Allah yang tahu bu.” Aku mencoba menahan air mata, tidak ingin aku terlihat lemah di mata ibu saat ini.
Mendegar ucapanku, ibu melepas belaian lembut tangannya dari kepalaku dan memalingkan muka, tagisnya semaki tersedu – sedu. “Hanya ada dua piliha Le, menjadi anak yang berbakti pada orang tua atau menjadi pembangkang.”
“Maafkan aku bu, kalau itu sudah menjadi kehendak ibu aku ikhlas menerimanya.” Air mataku keluar juga dari pelupuk. Tidak mungkin aku mebangkang pada ibu, orang yang sudah mempertaruhkan nyawa hingga aku dapat menikmati hidup di muka bumi ini, merawatku hingga aku menjadi seperti saat ini. Bukankah selama ini dukaku menjadi pilunya, dan bahagiaku menjadi surganya.
“sudahlah le, lupakan semua tetang Eva. Masih banyak gadis secantik dan sebaik dia. Istirahat tenangkan pikiran, semoga besuk semua kepenatan hilang dan pikiran fress.”
“Terimakasih bu.” Aku turuti saran ibu, masuk kamar dan merebahkan badan mencoba menutup mata menghilangkan lelah badan, hati, dan pikiran. Baru beberapa detik mata ini terpejam, hand phone di sampingku berbunyi. Pada layar tertulis nama Eva, aku tarik nafas dan menerima telepon itu.
“Assalamu’alaikum.” Sapaku setenang mungkin.
“Wa’alaikumsalam.” Balas Eva sambil sesenggukan menangis. “Mas, kenapa jadi begini, apa salahku mas?”
“Maafkan aku Va.”
“Apakah yang mas katakan dulu itu hanyalah ucapan di bibir saja.”
“Tidak begitu Va, aku tulus mencintaimu.”
“Lalu kenapa tidak mas pertahankan.”
“Aku bukan anak durhaka Va, aku tidak bisa membangkang pada ibuku. Cinta tidak harus memiliki, carilah laki – laki yang lebih baik dariku Va, laki – laki yang lebih bisa membahagiakan kamu.”
“Mas Adi yang terbaik buat aku.”
“Baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah Va. Allah mengetahu apa yang tidak kita ketahui. Cintaku padamu akan tersimpan di hati sampai hembusan nafas terakhirku Va.”
Isak tangis Eva terdengar semakin menjadi. Aku hanya bisa diam mendegarkan tangisnya. Hatiku merasakan sakit, dan semakin sakit mendengar tangisan Eva. Aku gigit bibir bawahku berusahan menahan rasa pedih di dada sambil memohon pada Allah. “Ya Allah, lakukan sesuatu untuk mengakhiri penderitaan ini.” Beberapa menit kemudian aku dengar Eva mengatakan sesuatu.
“Aku ngerti Mas. Akan aku jadikan ini perpisahan terindah dalam hidupku.”
“Terimakasih Va. Percayalah semua akan berakhir bahagia.”
“Iya mas. Aku bisa merasakan kalau mas juga merasakan sakit yang sama. Semoga kita menemukan kebahagiaan masing – masing suatu saat nanti.
Selesai sudah semuanya, aku yakin suatu saat Allah memberikan pendamping hidup paling terbaik buat Eva. Dan aku pun akan mendapatkan jodohku yang sudah ditentukan oleh-Nya. Manusia hanya bisa berencana dan tetap Allahlah yang menentukan. @@@

Harapan, Februari 2012 

By : Lphie Khasanah.
Lihat List Koleksi CerPen Klik disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar