Kamis, 05 Maret 2015

Fast True Story "Sarung Petaka Dihari Jum’at"

Lihat List koleksi cerpen disini

Sarung Petaka Dihari Jum’at


Bau harum semerbak bunga melati dan mawar menyengat hidung menjadi aroma terapi. Bunga ditaman mungil depan rumah terlihat segar setelah terkena guyuran air yang aku siramkan. Aku amati sekeliling taman mencari daun dan dahan kering setiap pohon untuk dibuang. Asik menikmati pekerjaan sore itu, seorang pemuda menghapiriku dan memberikan sebuah undangan. Setelah berucap terimakasi aku lihat undangan “Reuni SMPN 39 Surabaya Angkatan 2000”, sebaris kalimat itu membuat memory flash back.

            Setiap hari jum’at seluruh siswa muslim diwajibkan mengikuti sholat jum’at disekolah. Setiap siswa membawa peralan sholat dari rumah karena terbatasannya peralatan disekolah. Tidak terkecuali siswa putra, mereka diwajibkan membawa sarung. Entah siapa yang mengawali tradisi tersebut. Ketika bel istirahat berbunyi sarung berubah fungsi, dan menjadikan momok serta was – was bagi siswa putra. Sebaliknya siswa putri merasa kasihan sekaligus terhibur dengan adengan yang dibuat siswa putra.

            “Teeeeeeettt…” Bel panjang menandakan jam istirahat, guru pun keluar ruangan.

            “Plak. Plak. Plak. Bluk, debluk.” Kali ini kurbanya si Adri bocah bertubuh paling kecil dikelas. Tak tahu sarung siapa yang digunakan menutupi kepala Andri. Yang jelas setelah pelaku keroyoan puas mengeplaki kepala dengan tertutup sarung, kemudian Andri dimasukkan tong sampah dengan posisi pantat masuk lebih dulu.            Rasa kasihan pastilah ada pada kami, namun kami sebagai siswa putri tidak berani bertindak membantu. Kemarin saja ketika Neni membantu korban sebelumnya, dia mendapatkan olok – olokkan yang membuatnya tidak tahan dan menangis.

            Biasanya bila korban sudah kepayahan, barulah mereka para pelaku bertindak membantu mengeluarkan korban dari tong sampah dan mengambil sarung yang  menutupi kepalanya. Saat itulah korban kebingunggan harus mencari keadilan pada siapa. Dia tidak bisa menemukan pelaku yang menganiayanya. Lapor pada guru percuma saja, siswa putri tidak dapat diandalkan sebagai saksi.

            Dikelasku dalam satu hari jum’at bisa memakan hingga tiga korban. Itu belum kejahilan sama yang terjadi dikelas lain. Siswa SMP masih tergolong anak – anak, belum begitu peduli dan paham tentang bahaya atas tindakannya. Pengawasan dari kalangan guru sangatlah penting. Anehnya tradisi ini aku saksikan hingga aku lulus dari sekolah tersebut. Tidak satu pun guru tahu atau mungkin tidak mau tahu tentang hal ini.

            Bibirku tersenyum simpul mengenang memory masa setengah remaja dulu. Tidak sabar rasanya segera menghadiri acara reuni tersebut. Berjumpa kawan lama menceritakan kenangan – kenangan yang tersimpan masa SMP. Mengabarkan berita kejahilan kita dulu pada mantan bapak dan ibu guru. Mencari tahu perasaan korban kala itu dan pendapatnya tentang kejahilan tersebut setelah hampir 12 tahun berlalu, begitu pula sebaliknya pada pelaku. 

***

*Keterangan:
            - Mengeplaki kepala : memukul kepala dengan telapak tangan.


Memory, 16 November 2012
By Lphie K
Lihat List koleksi cerpen disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar