Senin, 23 Maret 2015

Cerpen "KEJAWEN"


Lihat List Koleksi CerPen Klik disini
KEJAWEN

Kejawen, seperti itulah orang–orang sekitar tempat aku tinggal saat ini menyebutnya. Rencana pernikahan tersusun rapi gagal hanya karena mereka mengatakan hasil perhitungan weton tidak cocok. Lalu kenapa kalau tidak cocok, apakah ada larangan seperti itu?, aku tidak begitu paham tentang hal ini. Seingatku ketika masih sekolah dulu dalam pelajaran agama bab nikah tidak ada sangkut pautnya dengan weton, yang paling penting keikhlasan dari perempuan yang dinikahi, wali nikah, saksi nikah dan akhat nikah/ijab-qobul maka pernikahan sudah dinyatakan syah.
Kampung yang aku tempati saat ini seluruh penduduknya pemeluk agama Islam sepertiku. Muda–mudi kebanyakan di kampung ini gagal menjalankan sunah rosul membina rumah tangga. Mereka tidak kuasa menentang sugesti yang diciptakan nenek moyang hingga kini diwarisi orang tua atau memang dalam hukum pernikahan islam ada hitungan weton. Ketika aku ada kesempatan gobrol dengan beberapa dari mereka, mereka cukup memahami agama, beberapa dari mereka mengatakan perhitungan weton bisa menjadikan musrik seperti halnya mempercayai ramalan, karena weton diciptakan oleh salah satu raja kerajaan di indonesia yang tidak setuju dengan pernikahan putrinya. Beberapa dari mereka mengatakan bawah ajaran weton dalam islam itu benar adanya. Aku belajar banyak tentang agama dari mereka, tapi aku tidak bisa memahami pemikiran tentang weton tersebut. Aku  bertanya–tanya dalam hati, apakah benar perhitungan weton ada dalam ajaran islam atau hanya merupakan sebuah sugesti. Semakin aku menggali mencari kebenaran tetang weton tersebut, semakin kebinggungan pula fikiranku dibuatnya. Selama mendalami agama mulai kecil hingga sekarang beranjak dewasa tidak pernah telingaku ini mendengar perhitungan weton. Dalam kebinggugan dan ketidak tahuanku saat ini, kusebut saja hal ini “Islam_Kejawen”.
***
            Aku nikmati sejuk semilir angin di depan masjid usai sholat dhuhur. Pandanganku tertuju pada seseorang di sampingku yang pernah menyatakan dirinya serius mengisi kekosongan hatiku. Terlihat tampak murung seolah–olah memikul beban berat, dalam kebisuan dia mempermainkan dua jempol jari kaki yang baru saja selesai dibungkus dengan kaus kaki. Ingin aku mengucapkan sesuatu untuk membuka percakapan, tapi tiba–tiba dia menarik nafas panjang dan menoleh ke arahku.
            “Hubungan kita sampai di sini saja, aku tidak siap melanjutkan lagi.” Ucapnya datar.
            Bagai diterpa badai di tengah laut samudra, hatiku terombang–ambing, jantung berdetak kencang seolah bunyi genderang perang. Sejenak tubuhku diam terpaku dengan pandangan kosong menata diri dari picuan andrenalin. Kalimat itu, tidak pernah sedikit pun terpikir olehku akan dia ucapkan begitu tiba–tiba ketika hubungan ini sudah mulai terbawa kejenjang paling serius. Aku berharap sebuah penjelasan dari kalimat yang dia ucapkan, karena di kepalaku mulai tumbuh pertanyaan–pertanyaan membutuhkan jawaban.
            “Maksud sampeyan apa?.” Akhirnya hanya tiga kata itu yang bisa keluar dari mulutku.
            “Hasil perhitungan weton kita tidak cocok, orang tuaku menentang hubungan kita dilanjutkan.”
            Akupun menarik nafas panjang seperti yang dia lakukan berusaha meringankan rasa sesak di dada. Ingatanku tertuju pada suatu hal yang aku sebut Islam Kejawen, sebuah pemikiran yang membinggungkan bagiku. Tidak terduga aku mengalami hal sama seperti mereka, tersangkut masalah berhubungan dengan weton. Hubungan kami tidak seharusnya berakhir dengan cara seperti ini. Aku berusaha meyakinkan dia untuk tetap mempertahankan hubungan kami, meyakinkan kalau petaka atau balak itu tidak akan benar-benar terjadi.
“Apa semua yang sudah kita lakukan dan rencanakan bersama bukan sebuah ketulusan?.” Aku mencoba protes.
            “Kalau semua yang aku lakukan bukan sebuah ketulusan, mungkin aku tidak merasakan sakit mendalam seperti saat ini. Rasa sesak di dadaku ini karena hatiku telah kau rampas dan kau kuasai.” Dia melakukan pembelaan.
            “Lalu kenapa kita tidak mewujudkan mimpi kita?. Apa yang sampeyan takutkan?, sengsara, hidup melarat, atau mati?. Semua yang di muka bumi bakal mati, kita semua bakal tertimpa bencana entah kapan waktunya.”
            “hidup, mati, jodoh, dan rezeki memang tuhan yang mengatur. Aku hanya tidak ingin menjadi anak durhaka terlebih pada ibuku dan waspada untuk keselamatanku, apa aku salah?.”
            Rasanya ingin sekali aku menangis bercucuran air mata mendengar kalimat–kalimat yang dia lontarkan. Tidak sedikit pun dia memberi celah untuk mempertahankan hubungan. Bagaimana lagi aku harus memberikan pengertian padanya. “Tidak salah dengan kewaspadaan dan pembelaan sampeyan.”
barang siapa membeci sunahku maka dia bukanlah golonganku.” Aku sampaikan juga sebaris kalimat itu, aku yakin dia lebih tahu ma’nak kalimat tersebut. Aku berharap dia mengatakan sesuatu, tapi tidak sepatah kata keluar dari mulutnya.
“Membina rumah tangga sunah Rasul, jadi sampean tidak akan durhaka karena menikahiku meski tanpa restu orangtua.” Jelasku berharap dia mengubah keputusannya.
            “Lebih afdhol kalau dengan restu orang tua, bisa saja aku menuruti kehendak kita dan mengabaikan keselamatanku, tapi aku tidak ingin menjadi pembangkang bagi ibuku dan tuhan menganjurkan untuk menjaga keselamatan diri.”
            Aku bergelut dengan keegoisan dalam fikiranku, beradu argument pada diri sendiri. “Seharusnya kamu tidak mejadikan ibu sebagai tameng alasan untuk mengakhiri hubungan kita. Katakan saja kamu takut dengan kemungkinan adanya balak dari hasil perhitungan weton kita. Kamu membuatku patah semagat dan sepertinya harapku sia–sia.” Hatiku paling dalam berbicara.
“Sudah finalkah keputusan yang sampeyan ambil.” Aku memastikan lagi.
            “Maaf bila aku menyakiti dan mengecewakanmu, aku benar–benar mohon maaf. Cinta tidak harus memiliki, kebahagian akan kita peroleh tanpa harus bersama.”
            Cinta tidak harus memiliki kata kamu?. Mana ada yang seperti itu, gerutuku dalam hati. Bila ada yang mengatakan cinta tidak harus memiliki itu salah, maka aku membenarkannya. Bila ada yang bilang aku bahagia bila kamu bahagia itu tidak benar, maka aku pun setuju. Hatiku tidak rela terlepas darimu. Mungkin bila suatu saat kau dengan orang lain, aku akan merasakan sakit hati dan kecemburuan merasuk dalam diriku. Itulah yang aku rasakan dalam keegoisanku, tapi apa boleh buat dia memilih melepaskan diri dariku.
            “Terimakasih untuk semua yang sudah sampean lakukan untukku. Semoga sampean mendapat yang terbaik, begitu juga dengan aku. Bila suatu saat sampean bahagia tanpa kehadiranku, maka cukup kenanglah aku seumur hidup sampeyan.” Ucapku datar tanpa expresi.
            Tuhan, kenapa ini menimpaku. Dia dan keluarnganya menjalankan apa yang aku sebut islam kejawen. Tidak adakah yang bisa membantu menyatukan kami dengan sebuah alasan menurut kita semua logis. Sebuah alasan untuk  mematahkan dan menghancurkan bahwa  datangnya petaka itu tidak benar adanya, hingga aku bisa meraih impianku menjadi pendamping hidupnya. Saat ini aku hanya bisa pasrah, mungkin yang aku alami terbaik bagiku. Aku tidak menyesali keputusannya. Dengan berakhirnya hubungan kami, maka terlarang sudah rasa ridu hatiku dan kini disetiap sujud aku selalu bermunajat:
            “Yaa Allah…, Buatlah aku jatuh cinta pada seseorang yang hatinya penuh kasih–Mu dan tidak ada penghalang weton atau yang lain dalam menuju sunah rosulmu, seseorang yang memang Engkau  ridhokan menjadi pendamping hidupku. Seseorang yang  membuatku makin mengagumi–Mu hingga aku mendapatkan anugrah cinta-Mu, cinta yang tidak pernah pupus oleh waktu untuk menemui kerinduanku.”
            Aku buka lembaran baru dalam hidup, kubuang jauh-jauh rasa egois yang sering muncul dalam diri. Tidak akan lagi aku mencitai seseorang berlebih seperti aku mencitai Allah sang pencipta alam semesta beserta isinya. Kini kusadar, cinta pada manusia yang berlebih bisa menjadikanku menyekutukan Allah. Allah selalu bersamaku, aku akan mendapatkan penganti cinta yang terbaik untukku. Dan aku tidak akan tertipu lagi oleh cinta-cinta omong kosong yang dijanjikan anak manusia. Aku tidak akan tertipu mencintai seseorang yang tidak mencintai Allah.

Sedihku, kecewaku, dan lukaku akan segera terhapus, jauh diatas segalannya Allah sedang merajut yang terbaik dalam hidupku. Karena jalan Allah indah pada waktunya, seperti ulat berbulu menjadi kupu–kupu cantik dan kaktus berbunga indah sekali. Itulah aku dan keyakinanku. @@@              

Meraih Cinta Sejati, 2010
By: Lphie Khasanah.
Lihat List Koleksi CerPen Klik disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar