Sarung
Petaka Dihari Jum’at
Bau harum
semerbak bunga melati dan mawar menyengat hidung menjadi aroma terapi. Bunga
ditaman mungil depan rumah terlihat segar setelah terkena guyuran air yang aku
siramkan. Aku amati sekeliling taman mencari daun dan dahan kering setiap pohon
untuk dibuang. Asik menikmati pekerjaan sore itu, seorang pemuda menghapiriku
dan memberikan sebuah undangan. Setelah berucap terimakasi aku lihat undangan
“Reuni SMPN 39 Surabaya Angkatan 2000”, sebaris kalimat itu membuat memory
flash back.
Setiap hari jum’at seluruh siswa
muslim diwajibkan mengikuti sholat jum’at disekolah. Setiap siswa membawa
peralan sholat dari rumah karena terbatasannya peralatan disekolah. Tidak
terkecuali siswa putra, mereka diwajibkan membawa sarung. Entah siapa yang
mengawali tradisi tersebut. Ketika bel istirahat berbunyi sarung berubah fungsi,
dan menjadikan momok serta was – was bagi siswa putra. Sebaliknya siswa putri
merasa kasihan sekaligus terhibur dengan adengan yang dibuat siswa putra.
“Teeeeeeettt…” Bel panjang
menandakan jam istirahat, guru pun keluar ruangan.
“Plak. Plak. Plak. Bluk, debluk.” Kali
ini kurbanya si Adri bocah bertubuh paling kecil dikelas. Tak tahu sarung siapa
yang digunakan menutupi kepala Andri. Yang jelas setelah pelaku keroyoan puas mengeplaki
kepala dengan tertutup sarung, kemudian Andri dimasukkan tong sampah dengan
posisi pantat masuk lebih dulu. Rasa
kasihan pastilah ada pada kami, namun kami sebagai siswa putri tidak berani
bertindak membantu. Kemarin saja ketika Neni membantu korban sebelumnya, dia
mendapatkan olok – olokkan yang membuatnya tidak tahan dan menangis.
Biasanya bila korban sudah
kepayahan, barulah mereka para pelaku bertindak membantu mengeluarkan korban
dari tong sampah dan mengambil sarung yang menutupi kepalanya. Saat itulah korban
kebingunggan harus mencari keadilan pada siapa. Dia tidak bisa menemukan pelaku
yang menganiayanya. Lapor pada guru percuma saja, siswa putri tidak dapat diandalkan
sebagai saksi.
Dikelasku dalam satu hari jum’at
bisa memakan hingga tiga korban. Itu belum kejahilan sama yang terjadi dikelas
lain. Siswa SMP masih tergolong anak – anak, belum begitu peduli dan paham
tentang bahaya atas tindakannya. Pengawasan dari kalangan guru sangatlah
penting. Anehnya tradisi ini aku saksikan hingga aku lulus dari sekolah
tersebut. Tidak satu pun guru tahu atau mungkin tidak mau tahu tentang hal ini.
Bibirku tersenyum simpul mengenang
memory masa setengah remaja dulu. Tidak sabar rasanya segera menghadiri acara
reuni tersebut. Berjumpa kawan lama menceritakan kenangan – kenangan yang
tersimpan masa SMP. Mengabarkan berita kejahilan kita dulu pada mantan bapak
dan ibu guru. Mencari tahu perasaan korban kala itu dan pendapatnya tentang
kejahilan tersebut setelah hampir 12 tahun berlalu, begitu pula sebaliknya pada
pelaku.
***
*Keterangan:
- Mengeplaki kepala : memukul kepala
dengan telapak tangan.
Memory, 16
November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar