list Koleksi cerpen lihat disini
BERCAK
NODA
Semua berawal ketika usiaku delapan
belas tahun dan aku mulai beranjak dewasa.
Aku menyadari apa yang aku rasa adalah hal lumrah dirasakan manusia pada
umumnya. Aku jatuh cinta pada seorang gadis sekolah sebelah, kelas XI SMA
jurusan IPA. Kali pertama ketemu pesonanya mampu menarik perhatianku hingga aku
menghentikan Satriaku tepat di pintu gerbang sekolahnya. Mataku tidak berkedip
memandang indah dan angun tubuhnya dari kejahuan. Saat itu juga dengan sigap
aku meneropong badge kelas di lengannya “XI IPA 3”. Memori kepalaku merekam
kelas dan jurusan gadis tersebut lengkap dengan ciri-cirinya. Terlalu keasyikan
aku menikmati indahnya pagi itu, tanpa kusadari bell sekolahku berbunyi dan aku
buru-buru starter Satriaku menerobos masuk gerbang sekolah. Seperti biasa si
Satpam marah-marah tiap kali ada siswa terlambat masuk, namun seperti
teman-teman aku bersikap cuwek. Aku parkir Satriaku lalu dengan santai berjalan
menuju kelas.
“Gus, tumben telat.” Hasan
menyapaku.
Aku melihat sumber suara sebentar
lalu ngeloyor duduk di kursi tanpa menjawab tanya Hasan, menaruh tas di loker
kemudian dlosor menjatuhkan kepala kebangku. Hari ini rasanya tidak semangat
mengikuti pelajaran, wajah gadis itu muncul terus di bayanganku. Rupanya Hasan
tidak puas dengan sikapku dia mendatangiku sambil membawa foto copy dan
disodorkan padaku. Aku terima foto copy tersebut dengan kepala tetap berada di bangku.
Pada sampul foto copy tertulis RODA DAN BAN, pantes belum ada guru datang. Guru
produktif satu ini suka datang sedikit telat dan kasih ulangan dadakan. Aku
angkat kertas foto copy dan aku pukulkan ringan di lengan Hasan sebagai tanda
terimakasih dengan mulut tetap terbungkam.
“Gus sepertinya kamu ko’ nggak
semagat blass.” Tanya Hasan kedua kalinya sambil menepuk pundakku.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan
Hasan, pak Ashary datang membawa tumpukan kertas entah apa yang bakal beliau
lakukan pada kami. Hasan ngibrit kembali ketempat duduk dengan tergopoh-gopoh
seperti siswa lain sendari tadi sibuk dengan mainannya. Pak Ashary terkenal
sangat killer bagi siswa-siswa termasuk aku, namun cara mengajar beliau sangat
disukai dan penjelasannya gampang dimengerti. Tak mau kalah, beliau juga
ngejoss di pelajaran praktik. Garis-garis samar di wajah beliau menunjukan
kalau beliau sudah tidak muda lagi. Sebagai guru tertua di sekolah, semangat
dan pengalaman yang beliau miliki tidak dapat dikalahkan guru-guru muda
produktif yang lain.
Aku seorang siswa SMK kelas XII di jurusan
teknik kendaraan ringan. Di sekolah tingkat akhir ini aku ingi serius belajar
dan lulus menjadi kebanggaan orang tua. Sebagai anak tunggal, apapun kebutuhan
yang aku perlukan orang tuaku dapat mencukupi. Ayah seorang pegawai negeri
sipil di perhutani, sedangkan ibu bidan di satu-satunya puskesmas kecamatan tempat
aku tinggal. Dari itu aku mencoba menjadi anak yang berbakti pada orang tua dan
memiliki misi menjadi kebanggaan bagi mereka. Aku paksakan diri menikmati
penjelasan pak Ashary tentang roda dan ban meski sedikit konsentrasi. Tanpa aku
sadari pak Ashary menutup penjelasan dengan salam dibaregi bel istirahat.
Ternyata aku sempat melamun di sela-sela pelajaran. Aku renggangkan badan
dengan menyelonjorkan kaki dan merentangkan tangan sambil molet lalu kubuang
nafas.
“Kekantin yuck, Gus.” Ajak Hasan.
Aku beranjak dari tempat duduk
meninggalkan kelas tanpa dikomando. “Kamu punya teman di SMA sebelah nggak
San.” Tanyaku setelah duduk di salah satu kursi panjang kantin.
“Kenapa?, cari cewek toch!, kalau
cari cewek di SMK ini saja. Lebih cantik-cantik, lihat tu anak jurusan tata
busana, top baget.” Promosi Hasan sock tahu.
“Di hadapan kamu bukannya semua
cewek terlihat cantik?!.” Balasku kemudian.
“Aaaach….. kau itu bisa saja kawan,
aku ini pendatang baru mana kenal dengan tetangga sebelah.”
“Kamu memang kuper, tiga tahun di sini
masih saja belum kenal kota ini.”
“Dari pada kamu!, kutu kupreeeet….”
Hasan membalas ejekanku.
Bel tanda masuk membubarkan siteru
kami, aku bayar minuman dan snack lalu berjalan beriringan dengan Hasan menuju
kelas. Dari arah berlawanan bu Herlina guru bahasa inggris hampir sampai pintu
masuk kelas, aku dan Hasan berlarian mengapai kelas lebih dulu. Bu Herlina
mengawali pelajaran dan otakku pun mulai tidak bisa konsentrasi pada pelajaran.
Penjelasan bu Herlina terdengar samar-samar di teligaku, tulisan di papan tidak
terbaca “!!*?/#^&%$$@!??*%#$?”. Rasanya waktu semakin panjang dan lama,
tidak sabar aku menunggu jam pelajaran berakhir.
“Semua
pelajaran pada hari ini telah usai, siswa dan siswi dipersilahkan meninggalkan
kelas. Sampai jumpa hari esok dengan
semagat baru.” Akhirnya bel akhir pelajarana berbunyi. Hatiku bersorak
gembira mendengar suara manis dalam Sound kelas. Setelah membaca doa bersama
aku terburu-buru menuju parkir meluncurkan Satriaku dan berhenti tepat di depan
pintu gerbang SMA sebelah. Aku amati satu persatu setiap siswa keluar dari
gerbang memcari sosok yang sama dengan tadi pagi. Hanya satu tujuan, kenalan
kemudian berteman dan tahu lebih banyak tentang dia. Ups! itu dia, aku meloncat
dari satria dan menghampiri dia.
“Permisi.” Gadis itu berhenti
melangkah dan keheranan melihatku.
“Ya!, ada perlu apa ya mas?.”
Tanyanya kemudian.
“Eeemm…, boleh kenalan dulu.” Aku
ulurkan tangan dan dia menyambut tanganku. “Agus.” Aku sebut namaku.
“Anita.”
Awal yang bagus batinku, saatnya aku
mengeluarkan jurus-jurus jituku yang lain. “Maaf Anita, saya dari sekolah
sebelah.” Aku tunjukkan badge di lengan untuk menyakinkan. “Kalau boleh tahu
Anita ikut ekstrakulikuler apa?.” Tanyaku.
“Theater!!, Ada apa ya, ko’ Tanya
ekskul segala?.” Jawab Anita sambil tanya kebingunggan.
“Kebetulan sekali, kami punya
rencana mengadakan latihan bersama untuk mempererat persaudaraan antar sekolah.
Boleh minta nomor handphone kamu Anita?.” Jelasku dan meminta nomor hand phone.
Aku mengambil hand phone disaku
celanaku meneruh jari jempol di keyped siap-siap ngetik, namun Anita merebut
hand phone tersebut dan melakukan pangilan ke hand phone kepunyaannya dengan
hand phone yang direbut dariku. Tidak lama kemudian terdengar bunyi lagu ‘sik
asik’ milik Ayu Ting Ting dari dalam tas Anita.
Sik
asik – sik asik kukenal dirimu….
Sik
asik – sik asik kudekat denganmu….
Aku
berharap kaulah yang akan jadi pacarku….
…………………………
Senyum bibirku melebar mendengar
nada pangilan masuk handphone Anita, sepertinya kami memang ditakdirkankan
berjodoh. Buktinya nada pangilan masuk handphone Anita bisa pas dengan situasi
tanpa disengaja. Aku semakin semagat, jurus-jurus bujukanku sukses walau
dicampuri sedikit kebohongan. Aku bukan anak Teater, aku tidak mengikuti satu
pun kegiatan ekstrakulikuler di sekolah. Nomor handphone sudah aku dapat, itu
hal terpenting bagiku. Selanjutnya tinggal menjalin dan menjaga silaturahmi
menuju persahabatan sejati.
JJJ
Silaturahmi kami terjalin hampir
satu bulan, aku dan Anita saling sms tidak mengenal waktu. Bahkan ketika
pelajaran berlangsung aku suka mencuri-curi waktu menyempatkan membalas sms
Anita. Dari sms-sms yang masuk sebelumnya aku merasa Anita ada hati padaku. Dan
satu minggu yang lalu aku memberanikan diri menyatakan cinta pada Anita.
Masalah kebohongan tentang teater aku ceritakan semua, Anita menyadari posisiku
saat itu dan memberi maaf padaku dengan tulus. Janji-janji manis keluar diri
mulutku membuat Anita senang dan bahagia. Saat itu juga aku dan Anita menjadi
sepasang kekasih.
Hari ini aku ada jadwal mengantar
Anita keacara ulang tahun temannya. Jam menunjuk angka satu, artinya kami akan
terlambat menuju tempat acara berlangsung. Rumah Anita lumayan jauh dari
tujuan, sekitar delapan kilo meter. Tanpa menunggu aba-aba setelah Anita naik
di boncengan, aku luncurkan satriaku cukup kecang membuat Anita berpegang erat
di pinggangku. Hatiku lega mendapati acara inti belum dimulai, aku gandeng
tangan Anita mencari tempat duduk nyaman. Anita terlihat sangat cantik dengan
gaun warna hijau tuanya, gaun tersebut kami beli dua hari lalu sepulang
sekolah. Aku merasa diriku laki-laki paling beruntung punya seorang kekasih
secantik Anita.
Pulang dari acara ulang tahun aku
dan Anita mampir di lapangan kecamatan. Sore ini lapangan terlihat sepi tidak
ada seorang pun beraktifitas hanya seorang bapak mengiring kambing keluar
lapangan. Aku dan Anita bersantai di pojok lapangan duduk menikmati empuk
rumput bersama sejuk angin sore menerpa tubuh. Tanpa sengaja mata kami beradu
pandang, tatap mata sipit Anita membuat jemari tanganku menyentuh lembut pipi
kirinya. Detik itu juga mata Anita membunuh kesadaran otakku. Cintaku mampu
membungkam mulut Anita menjadi lemah tak berdaya. Pesona Anita membuatku
menciptakan surga dunia dan rasanya manis sekali.
Aku mengutuk diri sendiri merasa
bersalah tidak dapat menepati janji menjaga kehormatan Anita. Mungkin sudah
seribu kata maaf aku ucap pada Anita sebagai tanda penyesalanku. Anita gadis
polos dan lugu begitu mudahnya memberi maaf padaku. Hubungan kami berjalan
mulus, pergi dan main bersama seperti biasa tidak pernah lagi kami membahas
masalah tersebut. Namun setiap kali ada kesempat, rasa bersalah itu menghilang
berganti rasa ingin mengulagi dosa terindah yang pernah kami lakukan. Entah
sudah berapa kali Anita terhipnotis oleh kesaktian cintaku, dan membuat kami
menodai manisnya cinta dengan melakukan dosa itu lagi.
JJJ
“Aku hamil !!.” Rengek Anita padaku.
“Kamu serius dengan ucapanmu barusan
Nit?!.” Tanyaku tidak percaya.
“Sudah hampir empat bulan aku tidak
datang bulan.”
“Sepertinya tidak ada perubahan pada
tubuhmu.” Aku memastikan sambil mengamati tubuh Anita.
“Apa kamu tidak melihat perutku yang
semakin membuncit ini?, aku ingin kita segera menikah.” Tuntut Anita padaku.
Kepalaku mulai pening membayangkan
kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi. Perut langsing Anita memang
terlihat sedikit besar dari biasanya. Mungkin badan kecil Anita yang di balut
baju agak longar membuat kehamilannya tidak terlihat. Aku bingung jawaban apa
yang harus aku berikan pada Anita. Orang tuaku, bagaimana dengan orang tuaku
bila tahu hal ini. Dadaku sesak pikiran kemana-mana, kepanikan mulai hadir
dalam hati untuk bertindak sesuatu.
“Tolong aku Gus, jangan biarkan aku
menanggung aib ini sendiri.” Anita terus memohon dan menuntut jawab.
“Tunggu sampai aku selesai Ujian
Nasional.” Janjiku membuat tenang Anita.
Masalah ini terlalu berat, aku belum
mau menikah masih banyak rencana masa depan yang belum terwujud. Aku masih
ingin bersenang-senang bersama teman-temanku. Belum lagi ketakutanku pada ayah
dan ibu. Masih jelas teringat di kepala nasehat ibu untuk hati-hati dalam
berteman, pandai-pandai membawa diri, jangan pernah melakukan hal-hal yang
dapat menyakiti orang lain. Dan nasehat ayah yang sangat membuatku ketakutan,
karena aku anak tunggal ayah berharap aku menjadi kebanggaan keluarga. Aku
diharuskan belajar sungguh-sungguh sebagai bekal penerus keluarga dan menjaga
kehormatan keluarga dimana pun aku berada. Aku takut ayah akan murka bila
mengetahui kelakuan bejatku. Aku takut ibu menganggapku anak durhaka karena
tidak mengindahkan nasehat-nasehatnya. Aku takut bila ayah dan ibu malu
menanggung aib yang aku buat lalu mengusirku dari rumah dan terlunta-lunta di jalanan.
Banyak ketakutan-katakutan muncul dalam diriku.
Setiap hembusan nafas ketakutan
membayagi diri, mata tidak lelap tidur, dan makan tidak nikmat. Bagai hantu
menuntut balas, dimana pun aku berada ketakutan terus saja membayangi. Hatiku
mulai kelelahan merasakan masalah kehamilan Anita. Aku paksakan otak berfikir
mencari penyelesaian untuk mengakhiri masalah tersebut. Otakku terus berfikir
dan menyusun suatu rencana bagi kebaikkan hidupku. Aku putuskan rencana
berjalan setelah ujian nasional berakhir sesuai janjiku pada Anita. Hati
sedikit tenang fikiran fokus untuk kelangsungan ujian nasional minggu depan.
Aku belajar mati-matian seperti siswa lain, perlahan masalah kehamilan Anita
menghilang dari pikiranku. Ujian nasional berjalan lancar aku dapat konsentrasi
mengerjakan soal-soal sampai hari terakhir.
JJJ
Sejuk embun pagi menyapa, mentari
tersipu malu mengelepakkan sinarnya membelai lembut tubuhku. Burung-burung
berkicau merdu mendendangkan nyayian pagi. Aku termenung seorang diri di teras
rumah teringat kekasihku Anita yang tengah hamil muda. Ragu aku menemui Anita
melancarkan aksi mengakhiri masalah kehamilan yang terus saja meminta
pertanggung jawabanku. Namun rasa ragu-ragu tersebut hilang dikalahkan rasa
ketakutanku menghadapi hidup tidak sempurna. Aku ambil bungkusan kresek hitam
dan mengunci rapat rumah untuk menemui Anita tanpa membawa satriaku. Kendaraan
umum melintas depan rumah membawaku ketempat kami janjian. Anita dan aku akan
bertemu di tepi jurang tempat biasa kami bersantai menghabiskan waktu bersama.
Pemandangan dari tepi jurang terlihat sangat indah hingga membuat kami kerasan
berlama-lama disana.
Ketika
turun dari kendaraan umum aku dapati Anita berdiri di pinggir jalan menungguku.
Aku hampiri Anita dan meraih tangan mengandengnya berjalan menuju tepi jurang.
Sesampainya di tujuan Anita terlihat kelelahan peluh mengalir di dahi dan
pelipis wajahnya. Kresek hitam yang aku bawa dari rumah berisi minuman
mengandung isotonik kusodorkan padanya. Tanpa ragu-ragu Anita mengambil kresek
dan meminum setengah dari isi botol. Sepinya jurang dan hembusan angin menjadi
saksi bisu kepenatan perasaan di dadaku. Beberapa detik kemudian Anita merengek
merasakan perutnya kesakita. Aku biarkan Anita memegang erat tanganku menahan
sakit di perutnya, tidak lama kemudian Anita jatuh pingsan dan aku dorong
tubuhnya terlempar kedalam jurang. Aku pandangi tubuh Anita dari atas tepian
jurang yang hanya sedalam dua belas meter. Tanpa penyesalan aku tinggalkan
Anita berlalu dari tepi jurang membawa kesuksesan menjalankan misi. Cinta,
sayang, kasihan dan iba tidak sedikit pun terbersit di hatiku, diriku telah
dikuasai setan yang muncul dari kekejaman hati takut bayangan takdir masa
depan.
Kakiku
melangkah menuju warung lesehan menemui Hasan dan memesan sambal ikan Lele
beserta es teh. Aku lahap nasi sambal ikan lele dengan nikmat setelah mencuci
tangan. Bersikap biasa seperti tidak pernah terjadi apa-apa hingga membuat
Hasan tidak curiga. Sungguh luar biasa, dengan lihai dan mudahnya aku dapat
memainkan sandiwara. Anita yang bergelut di dunia teater pun tidak mampu
membaca akal busukku, dengan mudahnya dia tertipu oleh sikap dan tingkah
lakuku.
JJJ
Teriakan melengking keluar dari
mulutku tersentak kaget melihat sosok Anita di pojok kamar melambaikan tangan
seolah-olah meminta pertolongan. Aku tepis bayangan muka pucat Anita yang
menyeramkan dengan menutupi seluruh badanku memakai selimut. Ibu mengedor pintu
kamar sambil terus memangiliku, mungkin kawatir karena aku teriak cukup kencang.
Aku pejamkan mata rapat tanpa menghiraukan pangilan ibu merusaha terlelap tidur.
Entah mulai kapan aku tidak mendengar lagi suara ibu dan terlelap tidur malam
itu.
Malam berikutnya hal sama terjadi
padaku, Anita terus menghantui di setiap sisi kamar dan aku masih bisa
mengatasinya. Namun pada malam ketiga aku tidak lagi bisa menahan ketakutanku.
Anita seolah mendatagiku membawa bayi perempuan dan melemparkan bayi tersebut
padaku kemudian mencekik leherku. Ilusi-ilusi tersebut membuatku teriak kencang
dan orang tuaku berlari mendobrak pitu kamar. Ayah membopongku keruang keluarga,
ibu dengan sigap mengambil air putih untukku. Aku terima sodoran gelas dari
tangan ibu lalu aku teguk air tersebut tanpa sisa setetes pun dalam gelas. Ayah
meminta penjelasan atas teriakan kerasku barusan, rasa takut berlebih dalam
diri membuatku menceritakan semua.
Cerita
tentang Anita yang hadir disetiap malamku membuat orangtuaku penasaran. Ayah
terus mengitrograsi diriku, mengapa gadis tersebut bisa hadir disetiap malamku
tiga hari ini. Penuh penyesalan dan rasa gemetar ketakutan, aku cerita kejadian
tiga hari sebelumnya secara detail. Bahwa Anita aku habisi nyawanya dengan
racun tikus yang aku campur dengan minuman mengandung isotonik dan jasadnya aku
buang kejurang. Ibu mengira aku ngarang cerita karena setress setelah ujian,
ayah penasaran ingin membuktikan kebenaran cerita tersebut. Malam itu juga ayah
menghubungi polisi datang bersama-sama menuju lokasi kejadian yang aku
ceritakan. Ibu menemaniku tidur di ruang keluarga sambil menunggu kedatangan
ayah.
Malam
itu aku tidak dapat memejamkan mata hingga pagi, begitu pun ibu berharap
ceritaku hanya sebuah fiksi. Semalaman ayah tidak pulang dan kami tidak tahu
apa yang sedang ayah lakukan bersama polisi. Pagi itu ayah datang dengan muka
kusut bersama dua orang polisi di belakangnya. Ibu menerima surat penangkapan
atas diriku dan polisi membawaku pergi. Aku lihat ketidak berdayaan ibu sambil
berlalu pasrah dibawa polisi meninggalkan rumah. Di sela-sela kaca mobil polisi
sebelum berjalan, masih sempat kulihat ibu pingsan di pelukan ayah. Ucapan
permintaan maaf pada ayah dan ibu hanya dapat kuucap dalam hati “maaf aku sudah
mencoreng muka dan harapan Ayah-Ibu” air mataku mengalir penuh penyesalan.
Hasan
mengunjugiku dengan membawa sebuah Koran harian pos dilempar di depanku. Pada
halaman depan tertulis judul huruf besar
SISWA SMK MENGHABISI NYAWA KEKASIHNYA YANG TENGAH HAMIL MUDA. Aku tundukkan
kepala tak kuasa menanggung malu dan dosa. Hasan memandangiku dengan mata merah
menahan amarah, dia tidak menyangka aku dapat melakukan hal sekejam itu. “Apa
kamu ingin melibatkan aku kedalam rencana jahatmu dengan menyuruhku membeli
minuman dan racun tikus waktu itu. Aku tidak mau punya teman sadis sepertimu,
pertemanan kita berakhir samapi disini.” Ucap Hasan sambil berlalu meninggalkan
aku.
Mayat
Anita ditemukan dalam keadaan sudah membusuk. Hasil visum menjelaskan korban
hamil empat bulan meninggal menelan racun tikus dan kepala memar terkena
benturan. Dari bukti-bukti dan keterangan yang sudah ada aku terjerat pasal
pembunuhan berencana, berdasar pasal tersebut diriku divonis hukuman penjara
seumur hidup. Ketika palu hakim usai diketuk masih terdengar samar-samar orang
tua Anita mengumpat dan menyumpahi diriku. Aku merasa hukuman yang aku terima
belum setimpal dengan perbuatanku. Kalau pun hakim memutuskan aku dihukum mati,
maka aku terima dengan ikhlas karena hukuman itulah yang pantas dan sepadan
dengan perbuatanku.
Di
tengah peyesalan aku teringat nasehat guru agama di sekolah “jomblo sampai
menjadi halal lebih baik dari pada pacara menimbulkan maksiat berujung dosa.”
Karena berlaku jahat dan kejam terhadap
orang yang selama ini aku cintai dan kasihi, aku harus menanggung kehilangan
orang-orang yang dulu mencitai dan mengasihiku. Aku tidak berharap mereka
memaafkan aku dan kembali menerimaku. Yang aku butuhkan saat ini adalah taubat
dan pengampunan dosa dari Allah. “Ya Allah wahai Tuhanku, hapus bercak noda
itu, ampuni aku serta terimalah kesungguhan taubatku. Amien.”
== TAMAT ==
By: Lphie Khasanah.
Romantika Remaja, Januari 2013
list Koleksi cerpen lihat disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar