Lihat List Koleksi CerPen Klik disini
KEJAWEN
Kejawen,
seperti itulah orang–orang sekitar tempat aku tinggal saat ini menyebutnya.
Rencana pernikahan tersusun rapi gagal hanya karena mereka mengatakan hasil
perhitungan weton tidak cocok. Lalu kenapa kalau tidak cocok, apakah ada
larangan seperti itu?, aku tidak begitu paham tentang hal ini. Seingatku ketika
masih sekolah dulu dalam pelajaran agama bab nikah tidak ada sangkut pautnya
dengan weton, yang paling penting keikhlasan dari perempuan yang dinikahi, wali
nikah, saksi nikah dan akhat nikah/ijab-qobul maka pernikahan sudah dinyatakan
syah.
Kampung
yang aku tempati saat ini seluruh penduduknya pemeluk agama Islam sepertiku.
Muda–mudi kebanyakan di kampung ini gagal menjalankan sunah rosul membina rumah
tangga. Mereka tidak kuasa menentang sugesti yang diciptakan nenek moyang
hingga kini diwarisi orang tua atau memang dalam hukum pernikahan islam ada
hitungan weton. Ketika aku ada kesempatan gobrol dengan beberapa dari mereka,
mereka cukup memahami agama, beberapa dari mereka mengatakan perhitungan weton
bisa menjadikan musrik seperti halnya mempercayai ramalan, karena weton
diciptakan oleh salah satu raja kerajaan di indonesia yang tidak setuju dengan
pernikahan putrinya. Beberapa dari mereka mengatakan bawah ajaran weton dalam
islam itu benar adanya. Aku belajar banyak tentang agama dari mereka, tapi aku
tidak bisa memahami pemikiran tentang weton tersebut. Aku bertanya–tanya dalam hati, apakah benar
perhitungan weton ada dalam ajaran islam atau hanya merupakan sebuah sugesti.
Semakin aku menggali mencari kebenaran tetang weton tersebut, semakin
kebinggungan pula fikiranku dibuatnya. Selama mendalami agama mulai kecil
hingga sekarang beranjak dewasa tidak pernah telingaku ini mendengar
perhitungan weton. Dalam kebinggugan dan ketidak tahuanku saat ini, kusebut
saja hal ini “Islam_Kejawen”.
***
Aku nikmati sejuk semilir angin di
depan masjid usai sholat dhuhur. Pandanganku tertuju pada seseorang di sampingku
yang pernah menyatakan dirinya serius mengisi kekosongan hatiku. Terlihat
tampak murung seolah–olah memikul beban berat, dalam kebisuan dia mempermainkan
dua jempol jari kaki yang baru saja selesai dibungkus dengan kaus kaki. Ingin
aku mengucapkan sesuatu untuk membuka percakapan, tapi tiba–tiba dia menarik
nafas panjang dan menoleh ke arahku.
“Hubungan kita sampai di sini saja,
aku tidak siap melanjutkan lagi.” Ucapnya datar.
Bagai diterpa badai di tengah laut
samudra, hatiku terombang–ambing, jantung berdetak kencang seolah bunyi
genderang perang. Sejenak tubuhku diam terpaku dengan pandangan kosong menata
diri dari picuan andrenalin. Kalimat itu, tidak pernah sedikit pun terpikir
olehku akan dia ucapkan begitu tiba–tiba ketika hubungan ini sudah mulai
terbawa kejenjang paling serius. Aku berharap sebuah penjelasan dari kalimat
yang dia ucapkan, karena di kepalaku mulai tumbuh pertanyaan–pertanyaan
membutuhkan jawaban.
“Maksud sampeyan apa?.” Akhirnya
hanya tiga kata itu yang bisa keluar dari mulutku.
“Hasil perhitungan weton kita tidak
cocok, orang tuaku menentang hubungan kita dilanjutkan.”
Akupun menarik nafas panjang seperti
yang dia lakukan berusaha meringankan rasa sesak di dada. Ingatanku tertuju
pada suatu hal yang aku sebut Islam Kejawen, sebuah pemikiran yang
membinggungkan bagiku. Tidak terduga aku mengalami hal sama seperti mereka,
tersangkut masalah berhubungan dengan weton. Hubungan kami tidak seharusnya
berakhir dengan cara seperti ini. Aku berusaha meyakinkan dia untuk tetap
mempertahankan hubungan kami, meyakinkan kalau petaka atau balak itu tidak akan
benar-benar terjadi.
“Apa
semua yang sudah kita lakukan dan rencanakan bersama bukan sebuah ketulusan?.”
Aku mencoba protes.
“Kalau semua yang aku lakukan bukan
sebuah ketulusan, mungkin aku tidak merasakan sakit mendalam seperti saat ini.
Rasa sesak di dadaku ini karena hatiku telah kau rampas dan kau kuasai.” Dia
melakukan pembelaan.
“Lalu kenapa kita tidak mewujudkan
mimpi kita?. Apa yang sampeyan takutkan?, sengsara, hidup melarat, atau mati?.
Semua yang di muka bumi bakal mati, kita semua bakal tertimpa bencana entah kapan
waktunya.”
“hidup, mati, jodoh, dan rezeki
memang tuhan yang mengatur. Aku hanya tidak ingin menjadi anak durhaka terlebih
pada ibuku dan waspada untuk keselamatanku, apa aku salah?.”
Rasanya ingin sekali aku menangis
bercucuran air mata mendengar kalimat–kalimat yang dia lontarkan. Tidak sedikit
pun dia memberi celah untuk mempertahankan hubungan. Bagaimana lagi aku harus
memberikan pengertian padanya. “Tidak salah dengan kewaspadaan dan pembelaan
sampeyan.”
“barang siapa membeci sunahku maka dia bukanlah
golonganku.” Aku sampaikan juga
sebaris kalimat itu, aku yakin dia lebih tahu ma’nak kalimat tersebut. Aku
berharap dia mengatakan sesuatu, tapi tidak sepatah kata keluar dari mulutnya.
“Membina
rumah tangga sunah Rasul, jadi sampean tidak akan durhaka karena menikahiku
meski tanpa restu orangtua.” Jelasku berharap dia mengubah keputusannya.
“Lebih afdhol kalau dengan restu
orang tua, bisa saja aku menuruti kehendak kita dan mengabaikan keselamatanku,
tapi aku tidak ingin menjadi pembangkang bagi ibuku dan tuhan menganjurkan
untuk menjaga keselamatan diri.”
Aku bergelut dengan keegoisan dalam
fikiranku, beradu argument pada diri sendiri. “Seharusnya kamu tidak mejadikan
ibu sebagai tameng alasan untuk mengakhiri hubungan kita. Katakan saja kamu
takut dengan kemungkinan adanya balak dari hasil perhitungan weton kita. Kamu
membuatku patah semagat dan sepertinya harapku sia–sia.” Hatiku paling dalam berbicara.
“Sudah
finalkah keputusan yang sampeyan ambil.” Aku memastikan lagi.
“Maaf bila aku menyakiti dan
mengecewakanmu, aku benar–benar mohon maaf. Cinta tidak harus memiliki,
kebahagian akan kita peroleh tanpa harus bersama.”
Cinta tidak harus memiliki kata
kamu?. Mana ada yang seperti itu, gerutuku dalam hati. Bila ada yang mengatakan
cinta tidak harus memiliki itu salah, maka aku membenarkannya. Bila ada yang
bilang aku bahagia bila kamu bahagia itu tidak benar, maka aku pun setuju.
Hatiku tidak rela terlepas darimu. Mungkin bila suatu saat kau dengan orang
lain, aku akan merasakan sakit hati dan kecemburuan merasuk dalam diriku.
Itulah yang aku rasakan dalam keegoisanku, tapi apa boleh buat dia memilih
melepaskan diri dariku.
“Terimakasih untuk semua yang sudah
sampean lakukan untukku. Semoga sampean mendapat yang terbaik, begitu juga
dengan aku. Bila suatu saat sampean bahagia tanpa kehadiranku, maka cukup
kenanglah aku seumur hidup sampeyan.” Ucapku datar tanpa expresi.
Tuhan, kenapa ini menimpaku. Dia dan
keluarnganya menjalankan apa yang aku sebut islam kejawen. Tidak adakah yang
bisa membantu menyatukan kami dengan sebuah alasan menurut kita semua logis.
Sebuah alasan untuk mematahkan dan
menghancurkan bahwa datangnya petaka itu
tidak benar adanya, hingga aku bisa meraih impianku menjadi pendamping
hidupnya. Saat ini aku hanya bisa pasrah, mungkin yang aku alami terbaik
bagiku. Aku tidak menyesali keputusannya. Dengan berakhirnya hubungan kami,
maka terlarang sudah rasa ridu hatiku dan kini disetiap sujud aku selalu
bermunajat:
“Yaa
Allah…, Buatlah aku jatuh cinta pada seseorang yang hatinya penuh kasih–Mu dan
tidak ada penghalang weton atau yang lain dalam menuju sunah rosulmu, seseorang
yang memang Engkau ridhokan menjadi
pendamping hidupku. Seseorang yang
membuatku makin mengagumi–Mu hingga aku mendapatkan anugrah cinta-Mu,
cinta yang tidak pernah pupus oleh waktu untuk menemui kerinduanku.”
Aku buka lembaran baru dalam hidup,
kubuang jauh-jauh rasa egois yang sering muncul dalam diri. Tidak akan lagi aku
mencitai seseorang berlebih seperti aku mencitai Allah sang pencipta alam
semesta beserta isinya. Kini kusadar, cinta pada manusia yang berlebih bisa
menjadikanku menyekutukan Allah. Allah selalu bersamaku, aku akan mendapatkan
penganti cinta yang terbaik untukku. Dan aku tidak akan tertipu lagi oleh
cinta-cinta omong kosong yang dijanjikan anak manusia. Aku tidak akan tertipu
mencintai seseorang yang tidak mencintai Allah.
Sedihku,
kecewaku, dan lukaku akan segera terhapus, jauh diatas segalannya Allah sedang
merajut yang terbaik dalam hidupku. Karena jalan Allah indah pada waktunya,
seperti ulat berbulu menjadi kupu–kupu cantik dan kaktus berbunga indah sekali.
Itulah aku dan keyakinanku. @@@
Meraih Cinta Sejati, 2010
By: Lphie Khasanah.
Lihat List Koleksi CerPen Klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar