Lihat List Koleksi CerPen Klik disini
CINTA SI BUNGSU
Allah
menciptakan manusia dengan berbagai macam sifat dan tingkah laku. Menghadirkan
benih–benih cinta pada setiap hati garang sebuas singa. Sungguh Allah maha
mulia, Tuhan penguasa semesta alam, tiada tuhan yang patut disembah melaikan
Allah sang khalik. Alhamdulilah, segala puji bagi Allah hari ini tahun
terakhirku menempuh pendidikan S1. Empat tahun aku berjuang di Surabaya mengapai
masa depan. Do’a dari orang–orang terkasih, Ayah dan Ibu serta saudara–saudaraku
mengiringi langkahku membawa sukses. Ibu tak pernah henti–hentinya menberi
semangat dan nasehat, mensport setiap langkahku, mendukung setiap apa yang
menjadi impianku. Sungguh luar biasa satu persatu impian yang aku rencanakan
dari awal terkabul seizin Allah.
Ibu,
Ibu, dan Ibu selalu aku pangil sebagai sandaran tiap kali aku terjerat masalah
yang menurutku terlalu berat bagiku. Saudara–saudaraku sering memangilku mother
complex, mungkin karena aku anak terakhir, atau mungkin pula ibu terlalu
memanjakan aku. Aku tidak pernah tersinggung dengan pangilan itu, beliaulah
yang berperan penting dalam kesuksesan dan kedewasaanku hingga aku berhasil
menyandang gelar sarjana pendidikan. Walau hanya sarjana pendidikan, tapi aku
bangga dengan pilihanku.
***
Mojokerto,
28 Oktober 2010.
“Permisi mas, formulir pendaftaran untuk lowongan guru
sebelah mana ya?.”
“Subghannallah, Maha suci Allah
sungguh luar biasa ciptaan—Nya.” Aku tercengang dan terkagum – kagum memandang
wajahnya.
“Mas,
hallo.....oo.” Sapa dan lambaian tangan dia menyadarkan aku dari kekaguman.
“Ech
ya mbak, meja nomor dua. Kebetulan saya juga mau ambil.”
“Loch!!,
Mas peserta juga?. Maaf mas saya kira panitia, mau ambil formulir guru apa?.”
“Otomotif,
kalau mbak.”
“Kimia.”
Awal
pertemuanku dengan Eva gadis cantik kelahir malang. Aku dan Eva sama–sama
mendaftar ujian CPNS (Calon pegawai negeri sipil) di kota Mojokerto.
Silahturahmi kami terjalin melalui alat komunikasi hand phone, dan bahkan ketika ujian
berlangsung kami berada
dalam satu ruangan.
Mungkin
belum saatnya kami menerima rezeki itu, Allah belum memberi ijin kami diterima sebagai
CPNS (Calon pegawai negeri sipil). Aku memutuskan mengawali karirku di salah satu SMK (Sekolah
menengah kejuruan) tempat saat ini aku berdomisili. Walau hanya sebagai
guru GTT (Guru tidak tetap), aku merasa senang. Rosululloh bersabda:
“Barang
siapa yang menyampaikan satu ilmu dan orang tersebut mengamalkan, maka dia akan
memperoleh pahala walaupun sudah tiada.”
Aku
juga membuka bengkel otomotif sebagai kesibukan di rumah. Dari silahturahmi
yang terjalin, aku mengetahui Eva mengajar di SMA Malang tempat kakak iparku
juga mengajar. Aku sering bertemu dia saat berkunjung kerumah kakak. Kontrakan
kakak hanya berselang dua rumah dari rumah Eva. Pertemananku dengan Eva semakin
erat, ada sesuatu terasa tidak enak di hatiku dan dadaku terasa sesak. Gerak–gerik
tingkah lakunya membuatku terpesona akan keindahan tutur bahasanya. Aku mulai
kebingungan dengan perubahan ini, apakah mungkin aku mengalami nafsu emosi
cinta?. Semoga Allah masih membekaliku iman untuk mengontrol berbagai macam
bentuk nafsu ciptaan—Nya jika itu terjadi.
Guncangan
diri dan jiwa membuat setiap sujud aku memohon pada Allah. “Ya Allah...., ridhoi, bila suatu saat aku
jatuh cinta, pertemukan aku dengan seseorang yang hatinya penuh kasih—Mu dan
membuatku semakin mengagumi—Mu.” Do’a harapan, akhir–akhir ini cukup bisa
membuat hati jadi tenang. Eva gadis cantik insyaallah secantik Fatimah Az—zahra
putri Nabi Muhammad SAW, tidak hanya cantik parasnya tapi juga penyayang dan
lembut tutur katanya. Diakah calon kekasih hatiku, ibu dari anak–anakku kelak.
Walau
do’a–do’a sudah istiqomah terucap, namun tak dapat dipungkiri, aku butuh
seseorang yang bisa membantu menenangkan rasa gundah di hatiku. Aku malu
mengungkapkan semua ini pada ibu, tidak biasanya aku bisa menyembuyikan setiap
masalahku pada ibu. Aku sendiri merasa bingung dan linglung, kenapa dalam hal
ini aku bisa begitu rapat menutupnya. Padahal beberapa kali ibu berusaha
menawarkan diri membantu meringankan beban pikiranku. Penyakit cinta sunggu
membingungkan. Temanku banyak yang bercerita, punya kekasih itu menyenangkan,
hidup jadi penuh warna. Aku tidak pernah merasa iri atau kepengen dengan
kebahagian karena cinta yang mereka rasakan. Ibu menasehatiku untuk tidak
pacaran sebelum aku menyelesaikan studi S1, dan aku menjaga amanat tersebut sampai
hari ini.
***
Malang,
30 Januari 2012
Menyita
waktu, pikiran, dan pekerjaan menumpuk terbengkalai, sungguh dasyat pengaruh
cinta. Aku harus bisa melawan kekuatan cinta yang berkecamuk di hatiku, dan segera
mendapatkan obat penawarnya.
“Di,
kripik pisangnya ko’ didiamkan
saja to?.”
“Mbak
obat penawar cinta....”
“Ech,
adik kecilku sedang jatuh cinta to ini.” Ledek kakak ipar memotong tannyaku.
“Aku
sudah dewasa mbak.” Balasku dengan tidak bergairah, masih dengan perasaan yang
berkecamuk dihatiku.
“Tetap
saja to, wong kamu anak paling bungsu ko’.” Jawab kakak iparku yang demen baget
ngeledi aku dengan ledekan–ledekan manis sambil sekali–sekali tertawa kecil.
“Huuffh....” Aku membuang
nafas dan menoleh pada kakak ipar. Sepertinya dia paham apa yang aku rasakan
saat ini, dan aku sedang butuh dukungan dan semagat darinya.
“Obat
penawar cinta itu hanya pernikahan, kalau kamu sungguh–sungguh dengan hati dan
perasaan kamu, katakan secepatnya pada dia jangan ditunda, jangan takut
penolakan, jika Allah berkehendak,
yang tidak mungkin pun akan menjadi mungkin.”
“Insyaallah
aku akan secepatnya mengabarkan ini padanya.” Aku menanggapi nasehat kakak.
“Allah
itu mengetahui apa yang tidak kita ketahui Di, mau kamu jalani besok atau
sekarang hasilnya akan sama.”
“Kalau
menurut mbak itu lebih baik, akan aku temui dia saat ini juga.”
“Siapa
gadis itu Di.” Tanya kakak iparku penasaran
“Eva.”
“
Eva...?, sejak kapan?.”
“Rasa
itu mengalir dengan sendirinya mbak, aku nggak tahu kapan tepatnya.”
“Bergegaslah
semoga sukses.”
Semangat
kakak ipar membuatku semaki yakin dengan apa yang aku dapatkan nanti. Aku
langkahkan kaki dengan hati tenang, berdo’a dan berharapan semoga Allah ada bersama dengan perjuanganku
ini. Langkahku terhenti ketika di
depan
pagar pekarangan rumah Eva, sore itu aku melihat Eva sedang membersika halaman
rumah, aku jadi gamang untuk melangkahkan kaki menyapa dia. Pantaskah bertamu
di rumah
seorang gadis sore hari gini, tapi sepertinya
masih
mending dari pada malam hari. Aku binggung antara iya dan tidak. belum selesai
aku berdebat dengan hatiku sendiri, Eva memangiku dari halaman rumah.
“Mas
Adi ngapain benggong di situ,
tar kesambet loch!.” Sapa Eva.
“Ech
iya, ni mau kerumah kamu.”
“Ko’
nggak masuk, sini masuk.”
Aku
turuti perintah Eva
masuk halaman rumah. “Sepi
baget Va, pada kemana yang lain.”
“Ada ko’!, semua lagi sibuk di
dalam, mas Adi cari siapa?,
bapak, ibu, atau....”
“Aku
ada perlu sama kamu.” Aku
potong bicara Eva.
“Ada
apa mas, tumben sore gini,
sepertinya penting baget.”
“Ini
mungkin tidak penting buat
kamu, tapi sangat penting buatku.”
“Pembicaraan ini rasanya ada
yang aneh, tidak seperti mas Adi biasanya.”
“Gini
Va.” Aku tarik nafas dan menghembuskannya.
“Udah
langsung saja mas.” Sela Eva sambil tersenyum simpul.
“Sepertinya
aku sudah tidak bisa menyimpan perasaan ini lagi Va, rasa ini terlalu sakit
untuk disimpan dan sangat menganggu
aktifitasku, aku butuh obat penawar hati, dan aku ada hati pada-mu.”
Eva
terdiam terpaku mendengar ucapanku, pandangannya menerawang jauh seolah pandangan
kosong. Matanya berkaca–kaca dan mengalir lembut air mata di pipinya. Aku merasa
bersalah sudah mengatakan itu semua hingga membuat dia menangis. “Va, maafkan
aku jika ucapanku tadi tidak berkenan di hati kamu, lupakan saja, anggap aku
tidak pernah berkata apapun hari ini padamu.”
“Enggak
mas, justru aku senang sekali dengan apa yang sudah mas katakan tadi.”
“Lalu
kenapa kamu menangis Va.”
“Tagisku
ini tangis bahagia mas, apa yang mas rasakan sama dengan apa yang aku rasa, kalau
mas serius dengan apa yang sudah mas katakan, jadikan apa yang kita rasakan ini
halal. Mintalah ijin pada bapak dan ibu mas, semoga beliau merestui tujuan
kita.”
“Amien.” Aku mengamini ucapan Eva.
***
Aku stater sepedah motor supraku
meluncur ke-Mojokerto,
karena saking senangnya perjalanan terasa nikmat dan tidak terasa sudah nyampek
rumah. Tidak sabar aku ingin memberi
kabar pada ibu dan meminta ijin pada beliau untuk meminangkan Eva. Aku parkir motor
didepan rumah, melepas helm dan jaket lalu masuk rumah menghampiri ibu untuk
mencium tangan beliau. Beliau terlihat senang sekali dengan kehadiranku, seolah
tidak bertemu putranya selama setahun, padahal aku cuma berlibur di Malang
dua hari saja. Aku toleh ruang keluarga, biasanya ayah nanton TV di situ tapi tempat
duduknya terlihat kosong, ada dimana beliau?.
“Ibu, Ayah tidak terlihat.” Tanyaku
sambil menghempaskan badan di
tempat
duduk samping ibu melepas lelah.
“Mandi. Kamu madi juga sana, biar lelahnya
hilang dan jangan lupa sholat ashar.”
“Ibu.”
“Apa lagi, sudah sana mandi dulu.”
“Nanti malam ada yang mau saya
bicarakan sama ibu dan ayah.”
“Iya, Asharnya mau habis itu.”
Guyuran air menyegarkan badanku,
memang benar mandi itu bisa menghilangkan sebagian kelelahan. Selesai mandi aku
lanjut sholat ashar dan menunggu adzan magrib yang kurang beberapa jengkal
lagi. Sambil menunggu adzan magrib aku lantunkan ayat suci Al–Qur’an, biar hati
ini tambah damai dan semakin mantap menyampaikan keinginanku pada orang tuaku.
Akhirnya makan malam keluarga yang
aku tunggu–tunggu tiba, seperti biasa kami makan malam bersama, ayah, ibu dan aku.
Rutinitas ini sudah ada sejak aku kecil, dulu kami berlima tapi sejak kedua
kakakku berkeluarga, kami tinggal bertiga saja. Makan rasanya lebih nikmat bila
bersama keluarga, masakan ibu memang nomor satu tidak ada duanya. Teringat
ketika masih kuliah dulu, aku selalu merindukan masakan ibu. Rasanya memang
beda dengan masakan yang aku nikmati diwarung–warung, mungkin orang menilai
lain tapi bagiku masakan ibulah yang nomor satu dan tidak akan tergantikan.
“Le, Adi. Tadi sore bukannya
kamu mau membicarakan sesuatu pada ayah dan ibu.” Ibu membuka percakapan setelah usai makam.
Kami sering mengunakan waktu usai makan sebagai tempat sharing.
“Ayah, ibu, Adi merasa sudah cukup
dewasa dan bisa menafkahi diri sendiri. Adi punya rencana menjalankan sunah
Rasul, membina rumah tangga. Mohon ayah dan ibu memberi izin untuk rencana Adi
ini.”
“Kalau kamu sudah merasa mampu menjalankan
sunah rasul satu ini,
kenapa tidak Le, menunggu apa lama–lama menyendiri.” Tangapan ayah
sunggu bijak, tidak pernah beliau menyudutkan aku disetiap keputusanku.
“Siapa gadis pilihan kamu itu Le,
apa ibu mengenal dia.”
“Gadis itu teman mengajar mbak Farida
di Malang sekaligus tetangga Bu.”
“Katakan pada keluarganya, minggu
depan kita akan silahturahmi kerumahnya.”
“Terimakasih Ayah, dengan senang
hati segera aku kabarkan berita ini.”
Malam ini juga aku telepon Eva
mengabarkan berita gemberi ini. Lengkap sudah kebahagianku, seolah
keberuntungan selalu berpihak kepadaku. Kebahagiaan menyelimuti kami berdua,
kebahagian yang semoga akan terus berlanjut hingga esok Allah memangil kami
untuk menyudahi kehidupan di
bumi.
Terimaksih yaa Allah, untuk semua yang telah engkau berikan kepada kami.
Dua minggu terasa begutu lama,
hatiku berdebar–debar menanti hari pertemuanku dengan Eva. Semoga Eva jauh di sana juga merasakan apa
yang aku rasakan saat ini. Allah menciptakan segala sesuatunya berpasang–pasangan,
dan insyallah aku sudah menemukan pasanganku. Eva begitu sempurna di mataku, tidak ada satu
pun kekurangan terdapat pada dirinya. Dia benar–benar wanita idamanku, semua
keteria yang aku ukir di
benakku
selama ini ada pada diri dia. Eva gadis cantik dan polos, lembut tutur kata dan
bahasanya, angun bahasa tubuhnya. Eva, hari–hariku dihantui bayangan Eva dalam
penantian. Seharusnya aku sadar kalau semua ini hanya ujian kesabaran dari
Allah yang ditujukan kepadaku sebagai tanda kasih sayangnnya.
***
Malang, 13
februari 2012.
Kedatanga keluarga kami disambut
gembira keluarga Eva, silaturahmi terasa hangat dengan perbicangan–perbincangan
diselingi canda-gurau. Bapak–bapak lebih aktif bicara dibanding ibu–ibu dan
anak–anak lebih memilih diam, seperti aku hanya diam saja menjadi pedengar
setia, sekali-sekali
menengok kedalam ruang keluarga berharap Eva ada di sana, dan harapanku
sia–sia Eva tidak terlihat, kemana dia?.
“Nak
Adi.”
Aku
menoleh pada pangilan ayah Eva. “Iya pak.”
“Benar–benar
sudah sanggup jadi pemimpin dan panutan bagi Eva anak bapak.” Ayah Eva mencari
kebenaran.
“Insyaallah
sanggup, Pak.” Jawabku mantap.
“Adi
ini anak saya paling bontot mbak yu, maklum kalau dia sedikit manja walau sudah
dewasa.” Sela cakap ibu pada ibu Eva.
“Waah.....,
ya sama, Eva juga anak terakhir saya. Kadang kalu lagi muncul manjanya itu loch,
iyakan pak.” Ibu Eva minta persetujuan pada suaminya.
Muka
ibu tiba–tiba menjadi muram mendengar perkataan ibu Eva. Seseolah ada yang
salah dengan perkataan ibu Eva. Apa ibu tidak menyukai kalau Eva manja?, tapi
tidak mungkin, menurut beliau aku toch juga manja. Sebenarnya apa yang ada di pikiran ibu saat ini?,
Pikiranku berkelut
menerka–nerka. Aku lihat ibu menoleh pada ayah menunjukkan ketidak sukaannya,
namun bapak menangapi dengan ketenangan. Ya Allah ada apa ini, apa yang bakal
terjadi.
“Kang
mas, Mbak yu, sebelumnya mohon maaf. Sepertinya silaturahmi ini tidak bisa dilanjutkan.”
Ayah mengakhiri pertemuan dua keluarga ini.
Ayah
dan ibu Eva terlihat kaget dengan
keputusan ayah. Kerut di
dahi
mereka memperlihatkan kebigungan. Ayah dan ibu Eva saling bertatap muka seolah
mencari kesalahan pada pihaknya. Mereka sama tidak mengertinya denganku, tidak
mengerti kesalahan apa yang muncul dipertemuan keluarga ini.
“Tunggu
dulu kang mas, sebenarnya ada apa ini, apa ada yang salah pada pihak kami.”
Tanya ayah Eva binggung.
“Kami
mohon maaf yang sebesar–besarnya, adat keluarga kami tidak bisa menikahkan anak
bila bungsu ketemu bungsu.” Ayah menjawab kebingungan ayah Eva.
“Tolong
dipikirkan lagi kang mas.” Mohon ayah Eva.
“Insyaallah
kami akan mencari solusi dan jalan tenggahnya.”
Perjalanan
pulang terasa sunyi tidak sepatah kata keluar dari mulut kami, seolah tidak ingin membahas
kembali apa yang sudah terjadi tadi. Ingin aku buka pembicaraan, namun aku
urungkan niatku. Biar saja perjalanan ini hening menenangkan hati masing –
masing. Mungkin yang terjadi tadi hanyalah emosi sesaat, semua masih bisa
dibenahi. Semoga kediaman ini bisa mendiginkan otak kedua orang tuaku, dan bisa mengerti
zaman modern seperti saat ini haruslah
mengunakan pikiran logis untuk memutuskan sesuatu. Bukan malah mempercayai
pemikiran tanpa dasar yang kuat.
***
Mojokerto, 13 februari 2012. Santai di ruang keluarga usai makan malam.
“Yah,
apa keputasan ayah dan ibu tadi sudah final?, ini zaman modern yah, haruslah
mengunakan pemikiran logis untuk memutuskan sesuatu.”
“Ayah
ngerti Le, semua tergantu ibu kamu.”
Belum
aku ngomong sepatah kata, ibu sudah menitihkan air mata. Seolah menanggung
beban yang amat berat. “Le,
Adi, ini bukan masalah logis atau tidak logis. Tapi tentang apa yang sudah
terjadi dalam kehidupan nyata.” Air mata ibu semakin bercucuran.
“
Tapi Bu....” aku hampiri ibu, aku sentuh tanggan beliau dan mataku
berkaca–kaca.
“Jangan
memaksa ibu Le,
jika diteruskan ini akan menjadi balak, petaka bagi rumah tangga yang akan kamu bina.”
Nasehat Ibu sambil mengusap kepalaku dan masih tetap meneteskan air mata.
“Jodoh,
rezeki, hidup dan mati hanya Allah yang tahu bu.” Aku mencoba menahan air mata,
tidak ingin aku terlihat lemah di mata ibu saat ini.
Mendegar
ucapanku, ibu melepas belaian lembut tangannya dari kepalaku dan memalingkan
muka, tagisnya semaki tersedu – sedu. “Hanya ada dua piliha Le,
menjadi anak yang berbakti pada orang tua atau menjadi pembangkang.”
“Maafkan
aku bu, kalau itu sudah menjadi kehendak ibu aku ikhlas menerimanya.” Air
mataku keluar juga dari pelupuk. Tidak mungkin aku mebangkang pada ibu, orang
yang sudah mempertaruhkan nyawa hingga aku dapat menikmati hidup di muka bumi ini,
merawatku hingga aku menjadi seperti saat ini. Bukankah selama ini dukaku
menjadi pilunya, dan bahagiaku menjadi surganya.
“sudahlah
le, lupakan semua tetang Eva. Masih banyak gadis secantik dan sebaik
dia. Istirahat tenangkan pikiran,
semoga besuk semua kepenatan
hilang dan pikiran fress.”
“Terimakasih
bu.” Aku turuti
saran ibu, masuk kamar dan merebahkan badan mencoba menutup mata menghilangkan
lelah badan, hati, dan pikiran. Baru beberapa detik mata ini terpejam, hand phone
di sampingku berbunyi. Pada layar tertulis nama Eva, aku tarik nafas dan
menerima telepon itu.
“Assalamu’alaikum.”
Sapaku setenang mungkin.
“Wa’alaikumsalam.”
Balas Eva sambil sesenggukan menangis. “Mas,
kenapa jadi begini, apa salahku mas?”
“Maafkan
aku Va.”
“Apakah
yang mas katakan dulu itu hanyalah ucapan di bibir saja.”
“Tidak
begitu Va, aku tulus mencintaimu.”
“Lalu
kenapa tidak mas pertahankan.”
“Aku
bukan anak durhaka Va, aku tidak bisa membangkang pada ibuku. Cinta tidak harus
memiliki, carilah laki – laki yang lebih baik dariku Va, laki – laki yang lebih
bisa membahagiakan kamu.”
“Mas
Adi yang terbaik buat aku.”
“Baik
menurut kita belum tentu baik menurut Allah Va. Allah mengetahu apa yang tidak
kita ketahui. Cintaku padamu akan tersimpan di hati sampai hembusan nafas
terakhirku Va.”
Isak tangis Eva terdengar semakin menjadi. Aku hanya
bisa diam mendegarkan tangisnya. Hatiku merasakan sakit, dan semakin sakit
mendengar tangisan Eva. Aku gigit bibir bawahku berusahan menahan rasa pedih di
dada sambil memohon pada Allah. “Ya Allah, lakukan sesuatu untuk mengakhiri
penderitaan ini.” Beberapa menit kemudian aku dengar Eva mengatakan sesuatu.
“Aku
ngerti Mas. Akan aku jadikan ini perpisahan terindah dalam hidupku.”
“Terimakasih
Va. Percayalah semua akan berakhir bahagia.”
“Iya
mas. Aku bisa merasakan kalau mas juga merasakan sakit
yang sama. Semoga kita menemukan kebahagiaan masing – masing suatu saat nanti.”
Selesai
sudah semuanya, aku yakin suatu saat Allah memberikan pendamping hidup paling
terbaik buat Eva. Dan aku pun akan mendapatkan jodohku yang sudah ditentukan
oleh-Nya. Manusia hanya bisa berencana dan tetap Allahlah yang menentukan. @@@
Harapan, Februari 2012
By : Lphie Khasanah.
Lihat List Koleksi CerPen Klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar