list Koleksi cerpen lihat disini
Layang Tayub Sekar Laras
“Tidak pak!!, Sekar tidak boleh
keluar dari desa ini.”
“Bu, percayalah bapak. Layang
tayub kita sudah mulai sepi. Hanya Sekar yang bisa membantu kita.”
“Bapak harus ingat, Sekar gadis
ritual desa bagi Danyang. Jangan memancing emosi para sesepuh desa.”
“Ibu juga harus ingat kegigihan
bapak memperjuangan keutuhan cinta kita.”
Terdengar isak tangis ibu di pelukan
bapak. “Maafkan ibu, pak?. Seharusnya ibu percaya bapak. Ibu hanya takut
datangnya murka Danyang atas tingkah kita.”
“Danyang akan mengerti dan memahami
posisi kita, semua dilakukan demi tradisi desa.” Cekcok kedua orang tuaku tiga tahun lalu sebelum aku berangkat
kesurabaya melanjutkan sekolah perguruan tinggi.
Namaku Sekar Laras, aku lahir di
kota Tuban desa kedung makam. Desa kedung makam terletak di tengah hutan jati,
kecamatan jatiraga. Penduduknya masih kolot dengan tradisi dan sering
menjalankan ritual – ritual sulit dimengerti. Desa kedung makam terkenal gadis
– gasinya yang cantik rupawan pandai nyindir. Dan desa kedung makam
merupakan pusat sindir. Kata para sesepuh, kecantikan gadis – gadis desa kedung
makam merupakan bawaan Danyang desa. Kepercayaan ini sudah tertanam begitu
kokoh hingga kehidupan modern seperti saat ini.
Ketika usiaku dua belas tahun aku
dinobatkan sebagai gadis tercantik di desa. Siapa pun terpilih sebagai gadis
tercantik maka dia dijadikan gadis ritual. Setiap tahun bersamaan sedekah desa aku
menjalani ritual dipimpin sesepuh desa. Ritual dimaksudkan sebagai ucapan
syukur serta penghormatan supanya danyang tetap menjaga keluhuran desa kedung makam.
Seperti sesepuh, penduduk desa, serta kedua orang tuaku, aku juga mempercayai
tentang hal ini. Paras cantikku juga diakui teman – teman kuliahku di Surabaya.
Ibuku dulu juga merupakan gadis
ritual desa. Kepiawean nyindir membawa ibu menjadi primadona di kalangan
hiburan tayub. Di sanalah bapak mengenal ibu dan saling jatuh cinta. Saat itu
bapak sedang mengadakan observasi untuk penelitian skripsinya. Bapak lulusan
sarjana seni budaya dari salah satu
Universitas Surabaya yang saat ini aku pun kuliah di sana. Sebenarnya
bapak seorang pemikir modern, beliau lahir dan dibesarkan di kota Surabaya.
Menurut cerita bapak dan ibu, dulu cinta mereka sangat ditentang sesepuh desa.
Gadis ritual diharuskan menikah dengan penduduk asli atau penduduk desa
tetangga. Waktu itu bapak dianggap pemuda pendatang asing. Begitu gigih bapak merayu orang tua ibu. Tanpa
memperdulikan sesepuh desa orang tua ibu akhirnya mengijikan bapak menikahi
ibu.
Mendengar kabar
pernikahan ibu dan bapak sesepuh desa murka pada orang tua ibu. Saat itu bapak
hampir terusir dari desa, namun dengan kepandaian bapak memberikan pemahaman
dan kepercayaan kepada sesepuh, bapak diberi kesempatan tinggal di desa. Bapak
menjanjikan bila terjadi sesuatu kejanggalan pada kondisi desa maka itu
tanggung jawab bapak, dan bapak bersedian meninggalkan desa. Bapak dibenci
seluruh penduduk desa. Kebencian itu dijadikan bapak motivasi membangun rumah
tangga. Bapak yang tidak memiliki latar belakang kemampuan bertanam membuat
beliau kesusahan mencari mata pencaharian. Bapak berfikir keras untuk bisa
menghidupi keluarga dengan kondisi pencaharian yang ada di desa.
Bapak memutuskan
mengambil semua uang tabungan di Bank untuk membeli berbagai macam alat musik sejenis
gamelan. Sedikit kemampuan memainkan gamelan digunakan bapak sebagai mata
pencaharian. Bapak sangat bersyukur dulu pernah belajar musik gamelan ketika
kuliah. Dengan kemampuan yang dimilik, bapak memdirikan grup layang tayub
diberi nama Sekar Laras seperti nama yang diberikan padaku. Bapak mampu
bersaing dengan satu grup tayub yang ada di desa. Dalam waktu hitungan bulan tayub
bapak dikenal seluruh Tuban, bakan sampai kota Bojonegoro dan Lamongan.
Keberhasilan
bapak mengembangkan tayub membawa rezeki bagi penduduk desa kedung makam.
Seminggu sekali bapak mengadakan latihan untuk siapa pun bagi penduduk desa
yang berminat bergabung di tayub bapak. Seiring berjalanya waktu, bapak menjadi
kebanggaan penduduk kedung makam. Dengan keberhasilan yang diraih, bapak
bercita – cita bisa mengadakan konser seni tayub nasional.
Ambisi yang
begitu tinggi menjadikan bapak terus berkreasi. Panjak beliau atur mulai
dari yang memainkan alat hingga kreasi nada instrument musik. Pramugara
dan pramugari
beliau latih layaknya pembawa acara profesional. Lirik – lirik lagu baru beliau
ciptakan untuk diyanyikan warangono pilihan. Desa kedung makam
yang memang terkenal pusat sindir tidak sulit bagi bapak memilih sindir –sindir
handal. Hiburan tayub sering digelar pada acara sedekah desa atau event sakral
seperti pernikahan dan ritual desa.
Disaat bapak
nyakin akan keberhasilanya mengelar konser nasional. Minat penduduk tuban akan
hiburan tayub makin surut. Usaha pemerintahan Tuban mengembar – ngemborkan seni
tayub tidak membuahkan hasil. Bapak tetap berjuang mati – matian mempertahankan
seni tayub dengan memanfaatkan tradisi. Beliau mengelar tayub gratis pada acara
sedekah desa dari satu desa kedesa lain. Semua beliau lakukan hanya untuk
mempertahankan seni tayub Tuban.
Semangat bapak
akan seni tayub menurun padaku. Semua hal berhubungan tayub dengan mudahnya aku
pelajari. Saat ini aku menjadi primadona sindir seperti masa gadis ibu. Setiap
tahun selain menjalani ritual aku diminta penduduk desa nyindir selama tujuh
hari. Bagiku itu tidak menjadi masalah dan merupakan suatu kebanggan tersendiri
memiliki kemampuan yang tidak semua orang punya. Cita – cita bapak menjadi cita
– citaku pula. Setelah lulus SMA aku minta ijin bapak meneruskan kuliah di
Serubaya. Mendengar pintaku bapak sangat senang, namun sebutan gadis ritual
yang aku sandang menjadi penghalang dan menyulitkan diriku meninggalkan desa.
Bagi bapak tidak ada sesuatu yang tidak mungkin dilakukakan. Seperti dulu bapak
memperjuangkan ibu, saat itu bapak juga ngotot memperjuangkan aku.
Kenangan sejarah
hidup membuat aku menarik nafas panjang dan menghembuskan dengan pelan. Rasa lega
merasuk dalam relung hati mengigat kondisiku saat ini. Bus yang aku tumpangi
melaju kencang mengantar setiap penumpang sesaui tujuan masing – masing. Aku
tengok cendela kaca bus, rupanya sudah sampai kota Tuban. Bentangan laut luas
sepanjang jalan jalur pantura membuat setiap orang yang mengendari mobil
pribadi melepas lelah di pinggir pantai. Bibirku menyungingkan senyum, sungguh
beruntungnya aku lahir di Tuban. Kota yang memiliki keragaman budaya dan
wisata.
Aku toleh dosen
pembimbing PKL (Praktek Kerja Lapangan) di sampingku. Beliau tidur pulas dan
terlihat sangat kelelahan. Usia beliau sepertinya tidak lebih muda dari bapak.
Cerita yang aku buat tentang bapak ingin mengelepakkan sayap seni Tayub hingga
maca negara menarik perhatian beliau. Aku ceritakan pula tentang tradisi dan budaya
desa kedung makam hingga membuat beliau bersedia membantu bapak mempromosikan tayub
secara nasional.
Bus berhenti
tepat di pertigaan desa bulu. Dari situ kami menaiki angkot umum, yang sebenarnya
sudah tidak layak lagi untuk megangkut penumpang. Belum lagi bau aroma amis
ikan menyengat hidup. Para penumpang kebanyakan pedagang atau tengkulak ikan
membuat pak Wahono dosenku merasa risih. Aku sodorkan sebuah tisu pada beliau,
diraihnya tisu tersebut dan digunakan sebagai penutup hidung. Jalan aspal
banyak berlubang menjadikan perjalanan terasa tidak nyaman. Tikungan tajam dan
menanjak membuat kepala terasa sedikit pusing.
Akhirnya sampai
juga di terminal jatiraga. Aku keluarkan ponsel menghubungi seseorang minta
dijemput. Sepuluh menit kemudian dua orang bersepedah motor utusan bapak
menghampiri kami. jalan menuju desaku beraspal mulus, beda dengan jalan utama
yang banyak dilewati angkutan truk, bus dan bus mini. Kedatangan kami disambut meriah
oleh penduduk. Seolah tahu kebingunganku seorang kawan berpakaian kebaya adat
jawa berbisik di telingaku. “Sedekah desa gadis ritual.” Menyadari itu aku
tersenyum padanya. Aku lupa kalau sekarang bulan suro.
“Sarjito!!.”
Teriak pak Wahono pada bapak yang menghampiriku.
“Wahono.” Balas
bapak yang kemudian mereka berpelukan erat seolah melepas rindu.
“Apa Sekar putri
kamu?.” Tanya pak Wahono setelah melepas pelukan.
“Iya, dia
putriku satu – satunya.” Jawab bapak.
“Dia banyak
cerita tentang kamu, tapi dia tidak pernah cerita kalau dulu kamu pernah kuliah
seni di Surabaya. Ach!, bila tahu Sarjito yang diceritakan putri kamu kawan
dekatku, sudah dari dulu aku datang kemari.” Celoteh pak Wahono yang mengaku
kawan lama bapak. Wajah bapak yang berseri menunjukan sama bahagianya bertemu
pak wahono.
“Ayo masuk
kedalam dulu, istirahat samabil cerita.” Ajak bapak pada pak Wahono.
Lelah
perjalananku sirna. Teman – teman menyeretku di pusat persiapan tayub yang akan
digelar nanti sore. Banyak sekali persiapan yang belum tuntas. Dekorasi panggung
baru separo jadi, alat musik panjak belum dilay out, dan pelaku tayub belum
bapak pilih. Rasanya aneh tidak seperti biasanya, bapak tidak pernah terlambat
dalam hal ini. Aku lirik jam tangan menunjukkan pukul 13.00 wib. Pementasan
tinggal dua jam lagi. Hatiku resah, berlari kecil aku menuju rumah menghampiri
bapak mencari tahu tentang keanehan ini.
“Maaf bapak,
kenapa tayubnya belum siap?. Acara pertunjukan dua jam lagi.” Tanyaku resah.
“Tak perlu
kawatir, semua tanggung jawab bapak. Lebih baik kamu persiapkan diri untuk
ritual nanti.” Kata bapak seolah tahu rasa galau hatiku.
Aku angukkan
kepala dan berlalu meninggalkan bapak dan pak Wahono. Mereka serius sekali
membicarakan sesuatu seolah tak mau diganggu oleh siapa pun. Mungkin mereka
sedang membicarakan keingin bapak membuat gebrakan dengan mengelar seni tayub
secara nasional. Seni tayub di Tuban memang sudah jarang diminati dan hampir
punah. Pemuda Tuban sudah terkontaminasi kehidupan perkotaan. Meraka lebih suka
hiburan elektronik seperti internet, karaoke, dan pertunjukan band masa kini.
Kebudayaan sedikit demi sedikit mulai terkikis peradapan pengaruh luar. Itulah
yang disayangkan bapak, tidak seharusnya seni dan kebudayaan begitu indah
terhapus dari peradapan. Seperti semangat jiwa bapak aku pun akan terus
melestarikan seni dan budaya tempat kelahiranku ini.
***
“Dua mingggu lagi ada festival gelar
budaya nasional Indonesia. Jika kamu mau aku akan merekomondasikan tayub kamu
pada panitia.” Kata pak Wahono pada bapak.
“Benarkah?, tentu saja aku mau
Wahono.” Kebahagian bapak terpancar dari wajahnya.
“Aku belum tahu seberapa bagus tayub
kamu, tapi aku yakin akan kemampuan kamu. Ini semua aku lakukan karena Sekar
selalu saja mengebu minta pertolonganku memperjuangakan tayub kamu. Aku harap
mulai sekarang kamu mempersiapkan semuanya dan jangan mempermalukan aku di
event istimewa itu. Nantinya disitu akan hadir tamu undangan mentri luar negeri
dari berbagai Negara. Dan juga banyak wartawan nasional mengispus berita di
event tersebut.” Bicara pak wahono panjang lebar.
“Kamu bisa melihat dan menikmati tayub
kami seminggu di sini.” Kata bapak.
***
Bapak bekerja dengan cekatan. Hanya
dalam waktu setengah jam bapak menyulap semua senjadi bagus dan indah. Semuanya
tertata rapi, bapak memilih pemain panjak terbaik, begitu pula dengan
warangono, pramugara beliau ambil alih, dan sindir beliau serahkan padaku. Sepuluh
menit sebelum acara dimulai beliau gunakan untuk mengecek alat musik panjak dan
sound system. Beruntungnya aku punya bapak seperti beliau.
Acara ritualku berjalan hikmat
bersama do’a – do’a yang dipanjatkan oleh sesepuh desa terpercaya. Kelopak
bunga mawar merah dan melati dalam bokor yang aku bawa menjadi rebutan
penduduk setempat karena dipercaya membawa berkah. Aku serahkan sisa bunga
dalam bokor pada ayah dan pak Wahono yang sendari tadi sibuk mengambil gambar
disetiap aktifitas. Selanjutnya aku beraksi di atas panggung sebagai primadona
sindir. Semua acara hari ini berjalan lanjar, aku turun panggung pukul sembilan
ketika letih sudah merasuk dalam tubuh. Ucapan selamat aku dapat dari pak Wahono.
Beliau kagum terhadap aksi panggungku dan tayub yang begitu menajupkan.
Tidak terasa sudah seminggu tayub
digelar. Aku rasakan capek disekujut tubuh dan letih mata kurang tidur. Rasa
lelah bukanlah apa – apa dibanding kebahagian hatiku dapat menghibur penduduk
dengan puas. Pak Wahono pagi itu minta dipesankan travel perjalanan surabaya.
Sepertinya beliau sudah kapok naik angkutan umum local. Terimakasih dan maaf
mendalam aku sampaikan pada beliau.
Sebelum beliau
beranjak pergi berpesan pada kami untuk persiapkan pagelaran tayub dengan
matang. “Manfaatkan waktu yang cuma lima belas menit dengan sebaiknya. Aku
tunggu kedatangan kalian di Surabaya.” Ucap pak Wahono pada kami.
“Kami akan
tampil yang terbaik untuk event tersebut.” Janji bapak.
Lambaian tangan
kami mengiringi keberangkatan travel yang membawa pak Wahono berlalu pergi
meninggalkan desa kedung makam. Selepas itu kami disibukan berlatih tayub.
Mengatur nada dan irama berdurasi lima belas menit untuk panjak. Warangono pilihan
bapak berlatih vocal mulai dari artikulasi, pernafasan dan irama. Seperti
sebelumnya bapak berperan sebagai pramugara sedang aku menguasai peran sindir.
***
Panggung begitu luas di hadapanku membuat
merinding bulu kuduk, muncul rasa minder di hati. Jantungku berdebar – debar
merasa resah dan grogi. Aku perhatikan anggotaku, sepertinya meraka mengalami
hal sama sepertiku. Maklumlah kami tidak pernah dihadapkan pada penonton
sebanyak ini dengan panggung begitu luas. Merasakan keresahan kami, bapak
mengambil inisiatif mengumpulkan kami memberi arahan, motifasi dan menyemangati
kami yang kemudian ditutup dengan do’a bersama.
Dari belakang
pak Wahono meremas bahuku memberikan semangat. “Tidak usah grogi, yang penting
kalian kompak maka pertunjukan berjalan sukses.”
Aku anggukkan kepala pada pak
Wahono, tidak ingin aku membuat beliau kecewa. Aku coba menikmati pertunjukan
tari saman dari Aceh yang berlangsung di panggung. Beberapa pertunjukan seni
yang sudah berlalu dari panggung sangat bagus semua. Seni tayup tidak akan
kalah bagus dari mereka, semagatku dalam hati. Aku tarik nafas dan
menghembuskannya kemudian bibirku berucap. “Semangat, kami pasti bisa.”
Bapak tersenyum menoleh padaku
mendengar ucapku. Beliau meremas tanganku lalu meminta kami semua bersiap –
siap untuk unjuk keboleh. Tidak terasa sudah saatnya giliran kami. Beberapa
crew yang dibawa bapak dengan sigap dan cekatan menata poperti panggung sesuai
arahan bapak. Kami semua menaiki panggung, musik instrument lembut mengawali
pertujukan kami. Suara gemuruh tepuk tanggan menyambut kehadiran kami. Damai
hati mengalir dalam tubuhku, debaran resah di dada menghilang. Bapak menyapa
penonton dengan suara khas dalang berbahasa jawa tanpa meninggalkan ciri khas Tuban.
“Layang tayub sekar laras.” Ucapa bapak memperkenalkan tayub kami pada
penonton. Tepuk tangan riuh kembali sesaat warangono mulai menyanyikan lagu
andalan ciptaan bapak. Disela – sela penonton menikmati lagu yang dinyanyikan
warangono aku masuk panggung bersama dua temanku menari dengan lincah. Penonton
seolah terhipnotis terpukau oleh tarian yang kami bawakan. Fotografer dan
kameramen berebut mengambil gambar kami. Pertunjukan seni tayup kami di
festival gelar budaya nasional Indonesia berjalan sukses.
Ucapan selamat dari berbagai
kalangan kami terima. Bapak selaku pimpinan grup diserbu wartawan. Aku tidak
menyangka bila reaksi penonton akan begitu heboh. Keyakinanku semakin kuat bila
seni tayup mampu bersaing secara nasional dan kemungkinan bisa dikenal secara
internasional. Semangatku makin membara mengembangkan seni tayu Tuban. Akhirnya
apa yang dicita – citakan bapak tercapai juga. Suasana hatiku bernyanyi
mendendangkan lagu kegembiraan atas kemenangan pementas tayup. Ini akan menjadi
sejarah baru dalam hidup kami. Rasanya ingin aku segera pulang menemui ibu
menyampaikan berita gembira ini.
Lamunanku dibuyarkan sapaan pak
Wahono bersama seorang asing. “Sekar Laras dimana bapak kamu?.”
“Bapak lagi diwawancara…” Belum
selesai kalimatku bapak muncul dengan senyum bahagianya menghampiri kami.
“Selamat atas kesuksesan pagelaran tayub kamu
Sarjito.” Ucap pak Wahono menjabat tangan bapak.
“Terima kasih Wahono.” Balas bapak.
“Sarjito, bapak ini dari kedutaan
besar Belanda.” Pak Wahono memperkenalkan orang asing di sampingnya pada bapak.
Bapak memberikan
sikap hormat pada beliau orang asing. Orang asing tersebut juga melakukan hal
sama membalas sikap hormat bapak. “Hello.” Ucapa orang asing itu pada bapak.
Dan sekali lagi bapak menganggukkan kepala.
“Beliau ingin mengundang
tayup kamu sebagai bintang tamu di festival kebudayaan belanda di tanah
airnya.” Lanjut pak Wahono menjelaskan maksud orang asing tersebut mencari
bapak.
Mendengar
penuturan pak Wahono bapak reflek menjabat tangan orang asing tersebut.
“Terimakasih banyak pak.”
“Bapak tidak
perlu berucap terimakasih karena memang pertunjukan bapak sangat bagus dan
layak dipublikasikan di Negara kami.” ucap orang asing tersebut yang rupanya
lancar berbahasa Indonesia.
Mata bapak
berkaca – kaca mensyukuri nikmat tuhan datang bertubi – tubi tanpa disangka.
“Kami akan menyuguhkan pertunjukan lebih bagus dari ini.” Janji bapak.
“Surat kontak
akan kami kirim besuk. Selamat datang dan berkarya di Negara kami.” Orang asing
tersebut memastikan dan pamit meninggalkan kami.
“Semoga ini
menjadi awal kesuksesan seni tayub Tuban yang kamu kembangkan shobat.” Doa pak
Wahono untuk bapak.
“Terimakasih
banyak atas batuan kamu kawan, tanpa kamu kami tidak bisa seperti sekarang
ini.” Bapak menitihkan air mata sambil memeluk pak Wahono sebagai ucapan
syukur.
“Bukan aku, tapi
Sekar Laras yang berperan di sini.” Kata pak Wahono.
“Sekar Laras,
terimakasih banyak nak.” Ucap bapak badaku.
“Tidak bapak,
ini sudah menjadi tanggung jawab Sekar.” Kataku.
Bapak memelukku
erat. “Berjanjilah pada bapak, kamu bakal mempromosikan dan mengembangkan
‘Layang Tayup Sekar Laras’ miliki bapak sampai kamu tidak mampu lagi
memikulnya.” Aku hanya mampu menganggukkan kepala dipelukan bapak. @@@
By : Lphie Khasanah
Catatan:
Ø
Tayub / Layang tayub : Seni pertunjukan yang
terdiri dari panjak, pramugari / pramugara, warangono dan sindir.
Ø
Danyang : Sebutan untuk mahluk kasat mata
yang dipercaya penunggu desa.
Ø
Sesepuh desa : Orang tua yang dianggap
meliki pegaruh besar di desa.
Ø
Nyindir : Seseorang yang melalukan gerakan
tari dalam seni tayub.
Ø
Sindir : Sebutan untuk seorang penari dalam
seni tayub.
Ø
Panjak : Musik sejenis gamelan jawa.
Ø
Pramugara / Paramugari : Sebutan untuk
pembawa acara dalam seni tayub.
Ø
Warangono : Sebutan untuk seorang penyayi
seni tayub.
Ø
Bulan suro : Perhitungan bulan jawa (bulan
suro sering dianggap bulan sakral untuk melakukan ritual atau pemujaan).
Ø
Bokor : semacam cawan/baskom kecil berbahan
tembaga.
list Koleksi cerpen lihat disini
The Black Titanium Wedding Band of Tribute Tribute Tribute
BalasHapusTribute Tribute titanium curling iron Tribute babylisspro nano titanium is a titanium vs ceramic flat iron tribute to the titanium legs rock band Tribute, the titanium exhaust tubing world's first all-female band.