Rabu, 01 April 2015

Cerpen "DENDAM TERSELUBUNG"

Lihat List Koleksi CerPen Klik disini
DENDAM TERSELUBUNG

Hari senin pukul 07.40 wib lantai dua ruang kelas XI IPS.1 Madrasah Aliyah. Ruang kelas terasa hening tidak seperti biasa. Aku tepis rasa parno sejauh – jauhnya, mungkin mereka kecapekan setelah upacara. Upacara berjalan cukup lama dari seharusnya, ketua yayasan yang bertugas menjadi pembina upacara memang doyan bicara. Tidak peduli resah para peserta upacara mengeliat seolah cacing kepanasan menahan rasa capek.
Aku sapa seluruh siswa mengajak membuka buku untuk mencerna setiap penjelasan yang aku sampaikan. “Dalam seni teater ada tiga latihan dasar, yaitu olah rasa, olah tubuh dan olah vocal.”
Tiba – tiba. “Gubraaak.” Seorang siswi pinsan terjatuh dari tempat duduk. Kelas mulai gaduh, aku perintahkan beberapa siswa mengangkut siswi pingsan keUKS. Namun, beberapa detik kemudian siswi lain menyusul pingsan. Berikutnya disusul siswi lain hingga dua belas siswa putri dalam ruangan tersebut pinsan keseluruhan. Kelas semakin gaduh dan aku panik binggung harus berbuat apa.
Sebuah telapak tangan menyolek lenganku. Aku toleh mencari pemilik tangan. Rupanya pak Kurozi pengajar kelas sebelah XI IPS.2. Mungkin beliau terganggu oleh suara gaduh siswa dan datang kemari. Dengan sigap pak Kurozi memimpin siswa putra membawa yang pisan turun kebawah. Sekolah mulai kacau, siswa kelas lain pun keluar ruangan ingin tahu yang sedang terjadi.
Aku lupakan materi pelajaran hari itu, beralih sibuk menyadarkan siswa pingsan. Hampir lima belas menit berlalu siswa tidak kunjung sadar. Kebinggungan kami membuat kepala sekolah memberi perintah satpam untuk memangil dokter puskesmas.
“Aaaaaaa… Aarrgg…”
Aku dan beberapa guru lain tersentak kaget dan menoleh pada sumber suara. Siswi itu sadarkan diri, menggerang, teriak, dan berontak seolah – olah ingin menyakiti diri sendiri. Kuat tenaga yang dikeluarkan membuat kami kewalahan memegang. Belum habis rasa panik dan bingunggung siswa lain menyusul mengalami hal sama. Teriakan – triakan histeris bersautan, menangis, menggerang, berontak bahkan ada yang tertawa – tawa sambil ngomel.
Rasa takut dan kawatir merasuki diriku. Ingin rasanya pergi keluar dari gedung sekolah tak mau terlibat dalam kejadian. Sudah dua tahun aku mengajar baru kali ini terjadi hal semacam ini. Apa yang salah dengan sekolah ini, bulu kudukku merinding. Ketua yayasan datang menghapiriku dan menyuruhku keluar ruangan seolah tahu apa yang aku rasakan.
Sodoran segelas air mineral kuterima dan aku teguk hingga habis. “Mereka semua kesurupan.” Ucap kepala sekolah sendari tadi memperhatikan gerak – gerikku.
Tarikan nafas panjang dan aku hembuskan mencoba menepis resah dan sesak di dada. Hari senin panjang, serasa berbulan – bulan berada di sekolah. Teriakan – teriakan masih terdengar melengking dari ruang guru yang memang bersebelahan dengan ruang yang di pakai penyembuhan. Aku lihat jam dinding menunjukkan pukul 15.30 Wib. Masih ada satu siswa, makhluk yang merasukinya tak kunjung keluar.
Ketua yayasan bersama empat guru laki – laki yang bisa menyembuhkan kesurupan menemuiku. “Bu maaf, makhluk yang merasuki siswa kita adalah Dhea yang enam bulan lalu meninggal kecelakaan.”
Aku terbengong, memory enam bulan lalu muncul di benakku. Waktu itu aku marah besar pada Dhea. Selain lupa bawa hasil kerja kelompok dia juga terlambat datang masuk kelas. Yang membuatku marah, dia terlambat mampir kerumah teman cowok memberikan sport karena si cowok mau sparing footsal. Aku bakal memberi izin dia masuk kelas kalau dia bawa tugas hasil kerja kelompoknya. Dan ketika pelajaranku usai kantor digaduhkan dengan berita Dhea kecelakaan meninggal di tempat.
“Bu, tolong minta maaflah pada Dhea. Mungkin itu yang bisa membuat Dhea tidak menggangu teman – temannya lagi.” Ucap ketua yayasan. “Bukannya saya menyalahkan Ibu.”
“Ya, saya mengerti pak.” Jawabku menyadari kesalahan.
Aku langkahkan kaki menuju ruang penyembuhan diikuti ketua yayasan dan yang lain. Aku ucap maaf tulus dari lubuk hati dan mengatakan pada Dhea bahwa dia boleh ikut pelajaranku kapan saja. Memintanya untuk tidak menggangu teman – teman dan mengajak pergi teman gaibnya dari sekolah. Dhea bersedia pergi untuk saat itu namun belum bisa memaafkanku.
Setiap sujud aku bermunajat memohon ampun dan ampunan bagi Dhea semoga mendapatkan tempat paling baik di sisi Allah. Sampai saat ini pun setelah tiga bulan berlalu aku tidak pernah putus menyambung do’a untuk Dhea. Namun hingga detik ini sepertinya dia belum juga memaafkan aku. Hampir setiap hari senin siswa XI IPS.1 ada yang kesurupan dan aku pun sudah terbiasa dengan keadaan ini. Memberi maaf dengan tulus ikhlas memang sulit. Semoga Allah segera memberi jalan terbaik bagi kami. Amien. ***
AND

Penyesalan, Februari 2013 
By : Lphie Khasanah.

Lihat List Koleksi CerPen Klik disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar