AKU,
KAMU DAN KITA
“Selamat
ulang tahun Desta.” Desti memberiku selamat.
“Terima
kasih.” Kuterima uluran tangan tanpa ucapan selamat balik, tapi Desti tetap
semangat. Dengan gaya enerjik mengajakku keluar kamar menemui tamu undangan.
“Attention
please...!, teman-teman perkenalkan ini kakaku Desta, kami lahir dihari dan
waktu yang sama.”
Sudah
aku duga mereka pasti kaget. Banyak pasang mata memandangiku, dan mungkin dalam
hati muncul kalimat, “Ooo…. Ternyata Desti punya saudara kembar cacat fisik.” Beberapa
detik kemudian terdengar bisik-bisik samar namun membuat telingaku panas dan
menyakitkan hati. Aku putuskan meninggalkan ruang pesta menuju taman dengan
tongkat yang setia menompang badanku. Suasan taman membuat hati terasa sejuk. Ikan berenang kejar-kejaran dalam
kolam membuat iri bisa hidup lepas tanpa tekanan.
Lama
tidak berjalan mengunakan tongkat membuat badan terasa capek. Aku balik badan menuju
kursi taman bersama bayangan indah menjadi saudara ikan – ikan kecil. Aku
rebahkan badan dikursi dengan kaki selonjor. Merentangkan kedua tanggan pada
sandaran kursi. Nafas panjang kubuang lewat mulut melepas lelah. Dan, kepala
aku tenggadahkan keatas dengan mata terpejam. Sungguh nikmatnya bila pikiran
kosong, darah mengalir lancar dan otot tidak tegang. Sedikit kaget ketika
membuka mata, tanpa aku sadari duduk seorang cewek disampingku.
“Hai,
kamu Desta saudara kembar Desti kan?.” Senyum manis dibibir sabil mengulurkan
tanggan kearahku.
“Ya.”
Jawabku tanpa menjabat uluran tangan.
Akhirnya
dia menurunkan tanggan. “Baiklah, selamat ulangtahun dan namaku Irra.”
“Terimakasih.”
Terpaksa aku menoleh kearahnya. Cantik, ramah, tidak pantang menyerah, sempurna
tidak ada kekurangan sedikitpun menurut penilaian dari pandangan mataku.
“Kenapa tidak ikut senang-senang didalam?.” Tanyaku kemudian.
“Bosan.”
Jawabnya singkat. “Kamu sendiri dari tadi Cuma berdiri dan duduk-duduk disini!,
padahal inikan pesta kamu.”
Senyum
sinis mendengar penuturannya. “Kenapa?, kasihan lihat aku!, terus kamu datang
menghampiri. Terimakasih, aku tidak butuh dikasihani olehmu.”
“Hai-hai
ko’ marah sich!, jangan tersinggung. Aku kesini memang lagi sumpek saja berada
di dalam. Nggak ada maksud lain, bener dech!. Suer.”
Beberapa
saat lamanya aku dan dia saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah
apa yang Irra pikirkan. Mungkin tentang sikapku yang cuwek, tak acuh dan judes.
Yang jelas saat ini pikiranku sedang melayang. Andai aku punya satu pasang kaki
sempurna, mungkin banyak gadis cantik terpikat padaku. Sering aku memandangi
wajah dicermin, putih, halus, mulus tidak satupun jerawat tampak diwajaku
(wiiiihh…, seperti iklan pembersih wajah di TV aja nich!! J
). Dibandingkan Desti yang kurus kering (bukan tengkorak hidup pastinya J),
aku memang lebih cakep dari Desti. Boleh dibilang artis bintang korea Rain
masih kalah tampan dariku (waduh!!, semakin lebay kaya’ sinetron J).
“Desta!.”
Panggil Irra. “Haayy, Destaaaa.” Pangil Irra lagi sambil melambaikan tangan
didepan mukaku membuyarkan lamunan.
“Oh
ya, maaf.” Aku tersentak kaget.
“Maaf,
tadi aku tidak bermaksud menyinggung perasaan kamu.”
Disela
percakapan kami. “Irra, kamu disitu?.” Suara Desti terdengar dari belakang.
Aku
dan Irra serempak menoleh kebelakang. “Yaa….” Teriak Irra.
“Kalian
sudah saling kenal?.” Sapa Desti sambil terus berjalan menghampiri kami.
Aku
dan Irra menoleh berpandangan seolah membutuhkan persetujuan dari kedua belah
pihak untuk menjawab pertanyaan Desti. Tanpa menunggu jawaban dari kami Desti
memperkenalkan Irra padaku.
“Desta, ini Irra pacarku.” Sambil
menepuk kedua bahu Irra dari belakang.
“Good job, You are perfect.” Pujiku
pada Desti dengan senyum setengah hati.
“Kalian berdua tidak merasa dingin,
masuk kedalam yuck!.” Ajak Desti.
Desti mengandeng Irra masuk kedalam,
dan aku mengikuti ngekor dibelakang dengan kaki sedikit pincang. Rasa pengap
dan sesak mulai muncul dikeramaian ruangan. Aku benci gurauan dan ocehan nggak
penting mereka. Langkah kakiku terus berjalan melewati mereka menuju kamar. Pintu
kamar aku tutup rapat-rapat dan aku pasang headset ditelinga lalu aku putar
volume cukup keras melawan suara-suara diluar kamar. Aku rebahkan badan dan
memejamkan mata untuk terlelap memimpikan kehidupan nyata penuh bunga
kebahagiaan.
***
“Bunda
nanti berangkat jam berapa?.” Tanya Desti pada bunda sambil menyuapkan sesendok
nasi kemulut. Entah apa yang bunda dan Desti rencanakan, tiap jum’at mereka
bepergian.
“Siang
saja, sekalian bunda beli sepatu.”
“Oke.”
Kemudian Desti menyuapkan satu sendok nasi terakhirnya dan berpamitan. “Bunda Desti
berangkat sekolah, dah telat nich!.”
“Hati-hati
dijalan, sayang.” Nasehat bunda.
“Sudah
tentu bunda. Berangkat dulu Ta’.” Pamit Desti sambil menepuk bahu kiriku.
Hari
ini kami hanya makan pagi bertiga, ayah keluar kota urusan kerjaan. Sudah dua
hari ayah pergi dan kemungkinan nanti malam beliau kembali. Terkadang aku
merasa kehilangan ketika ayah pergi. Ayah sering menyemagati aku dan tidak
memihak pada siapapu, terlihat cuwek tapi perhatian pada keluarga.
“Sayang,
nanti mau ikut bunda?. Kalau iya bunda jemput.”
“Enggak
bunda, lagian Desta ada les fisika dan kimia.”
“Ya
sudah kalau gitu bunda berangkat, hati-hati dirumah jangan bikin susah mbak Nurul.”
Pamit bunda sambil mencium keningku.
Akhirnya
pergi semua, tinggal aku dan mbak Nurul. Merasa damai dengan kesendirianku.
Hari ini aku tidak ada kegiatan. Hanya untuk menghindari ajakan bunda bohong
ada les fisika dan kimia. Aku tidak pernah mau tahu kemana mereka pergi tiap
hari jum’at. Dalam kesepian seperti ini, seharian aku habiskan untuk belajar
dan membaca buku pemberian ayah. Beliau selalu memberikan beberapa buku tiap
kali datang dari bepergian.
“Ting
tong, tin tong, ting tong.” Bel rumah berbunyi.
“Mbaaak, Tamu tuch…!, mbak, mbak Nuruulll.
Kemana sich mbak Nurul.” Mbak Nurul nggak kujung datang. Terpaksa aku raih
tongkat turun dari kursi roda membuka pintu.
“Hai.
Desti ada?.” Tanya Irra ketika aku buka pintu.
“Nggak
ada, pergi sama bunda.”
“Boleh
aku nunggu di dalam.”
“Silahkan.”
Aku
memandang Irra sekilas kemudian mendesah dan meninggalkan Irra.
“Desta,
mau kemana?!.”
Aku
hentikan langkah memutar badan memandang Irra.
“Kemarilah,
temani aku disini.” Pinta Irra.
Langkah
kakiku berbalik arah menuju kursi duduk tepat di depan Irra. “Apa yang harus
aku lakukan untuk kamu.”
“Kamu
dirumah sediri?.”
“Beginilah
tiap hariku. Aku home schooling.”
“Kapan
Desti datang?.”
“Mungkin
tiga jam lagi dan bisa lebih.”
“temani
aku cari buku yuck!.”
“Tapi….”
Belum
selesai aku bicara Irra menarik tanganku. “Ayoo, sebentaaaaar saja.”
Aku
raih sepasang tongkatku dan beranjak dari tempat duduk. “Naik apa?.” Tanyaku.
Dia
berfikir sejenak kemudian melirikku sambil tersenyum. “Taxi.”
Aku
dan Irra berjalan beriringan menelusuri koridor Mall. Entah sihir apa yang
digunakan Irra untuk meluluhkan hatiku. Sebelumnya aku paling anti keluar rumah
apalagi ke Mall. Dada terasa aneh, ketika mata Irra melirikku ada desiran
lembut mengalir dalam hati. Detak jantung terpicu membuatku sedikit bergetar
namun menyenangkan. Apa mungkin ini yang dinamakan cinta. Irra kekasih saudara
kembarku dan sudah jelas Irra tidak akan mungkin menyukai diriku. Cacat pada
kaki membuat nilai minus pada fisikku.
Ternyata keliling Mall menyenangkan
sekali. Senda gurau mengiringi sepanjang window shopping bersama Irra. Tanpa
sungkan terkadang Irra mengandeng tanganku. Dia juga tidak merasa malu dengan
kekuranganku. Baru kali ini aku merasa sebahagia ini. Senyum dan tawaku saat
ini adalah yang paling tulus. Thank Irra, kau sudah membuatku bahagia dan
menghapus luka hati. Kau hapus kebencian yang tumbuh dihati untuk keluargaku
dengan kebahagiaan ini.
“Desta
beli minum di café itu yuck?, aku haus.” Irra menunjuk sebuah café.
Aku
senyum sambil menganggukkan kepala. Kami berdua serempak berjalan menuju café
mencari tempat duduk kosong dan memesan dua gelas minuman. Sayup-sayup suara
music melengkapi nikmatnya berada dalam café. Aku seruput Es cappocino pesananku,
dua tegukan membuat tengorokan dingin dan lega. Sungguh mengejutkan, dibelakang
Irra Desti menyapa kami dengan wajah pucat memaksakan diri tersennyum.
“Kalian
cari apa disini.”
Irra
menoleh kebelakang. “Aku mengajak Desta cari buku. Tadinya mau ajak kamu tapi belum
datang.”
“Hallo
sayang.” Sapa bunda padaku. Sepertinya bunda sangat heran melihatku ada disini.
Tidak lama kemudian bunda tersenyum sambil melirik Irra.
“Kalian
tidak pulang?.” Tanya bunda.
“Iya
tante, ini juga mau Pulang ko’ tante.” Irra mengiyakan bunda.
“Irra
ikut tante saja, tante juga mau pulang.”
“Tapi
tante, rumah Irrakan…”
“Nggak
apa tante senang ko’.” Bunda motong bicara Irra.
Kita
pulang dengan mobil yang dikemudi bunda. Disamping bunda aku hanya diam membisu
mendengar percakapan dan gurau bunda dengan Irra. Ada yang aneh dengan Desti. Dia
tidak banyak bicara dan mukanya semakin pucat. Mama menghentikan mobil tepat
didepan rumah Irra.
“Terimakasih
tante.” Ucap Irra.
“Sama-sama
sayang, salam buat mama dan papa yach!.”
“Iya
tante. Desta, Desti aku pulang yach.” Pamit Irra pada kami bertiga sekaligus.
Aku dan Desti menganggukkan kepala
bersama. Terlihat dari kaca mobil muka Desti lebih pucat dari sebelumnya.
Mungkinkah gara-gara melihat aku bersama Irra. Kelihatanya bukan itu, pasti ada
hal lain.
“Desti
kamu baik-baik saja!. Kerumah sakit ya?.” Tanya bunda, namun Desti tidak
menjawab. Dia terlihat kelelahan, mata dipejamkan dan menyandarkan kepala
disandaran kursi.
“Desti
ada apa dengan kamu?.” Tanyaku kawatir.
“Mungkin
Desti kelelahan sayang.” Sepertinya bunda tahu kekawatiranku. Bunda mengemudi
mobil kencang menuju rumah sakit. Aku hanya bingung dan bertanya dalam hati.
Apa yang terjadi pada Desti, kenapa bunda terlihat panik dan seolah-olah sedang
menutupi sesuatu tentang Desti dariku.
Desti
dibopong bunda ketempat pemeriksaan khusus. Dokter meminta kami menunggu diluar
ruang pemeriksaan. Beberapa menit kemudian dokter memangil buda dan diajak keruang
tertutup. Diam-diam aku menguntit
dibelakang mereka. Terdengar samar dari candela kaca suara dokter memberi
penjelasan pada bunda. Aku tidak tahu apa yang dokter bicarakan tapi bunda
terlihat sangat muram dan sedih. Bunda juga terlihat panik menghubungi
seseorang lewat hand ponsel. Bunda yang selama ini aku benci mengira lebih
saying Desti dari pada aku. Melihat beliau dirudung sedih kebencian itu hilang
berubah sayang dan kasihan.
”Desti saudara kembarku, apa yang
terjadi padamu?. Kenapa bunda sampai sepanik dan sesedih itu.” Mataku tidak
berkedip mengamati gerak-gerik bunda. Air matanya mulai mengalir dipipi sambil
menganggukkan kepala mejawab seseorang yang beliau telepon. Bunda menutup
telepon, mengapus air mata dan pamit pada dokter. Aku sambut bunda di depan
pintu. Sedikit kaget belihat melihat aku ada disitu. Senyum sekilas padaku dan
menuntunku pergi menuju yang aku pikir tempat semula, dan ternyata ketempat
lain. Desti sundah dipindahkan keruangan lain rupanya. Desti terkulai lemah
ditempat tidur serba putih. Perawat baru saja usai memasang infuse dan
alat-alat lain yang ditempelkan pada badan Desti.
“Bunda,
Desti sakit apa?. Kenapa harus ada alat-alat ini ditubuh Desti.” Tanyaku ingin
tahu.
Bunda
menitihkan air mata untuk kedua kalinya mendengar tanyaku. Sakit apa yang
diderita Desti sebenarnya hingga membuat bunda meneteskan air mata mendengar
tanyaku. “Bunda, bunda kenapa?.” Beliau tidak menjawab pertanyaanku tapi malah
memutar badan duduk disofa yang disediankan rumah sakit dalam ruangan.
“Sayang.”
Panggil bunda padaku.
Aku
dekati bunda berdiri tepat didepanya, beliau memeluk pinggangku sambil menangis
tersedu-sedu. Ingin aku tanya dan tuhu lebih banyak tentang Desti namun aku urungkang niat. Aku dekap kepala bunda diperutku
dan aku elus-elus punggung bunda untuk menenangkan beliau. Sebenarnya aku pun
tidak jauh beda dengan bunda, aku sock melihat kondisi Desti secara tiba-tiba
ngedrop.
“Desta!,
bunda!.” Ayah memangil dan menghapiri kami. Duduk disebelah bunda berharap
dapat penjelasan tentang kondisi Desti.
Syukurlah
ayah datang, aku tidak tahan melihat kesedihan bunda. “Ayah.” Tegur bunda
melepas pelukan dan berganti memeluk ayah seakan mengadukan masalah yang sedang
dihadapi.
Sesaat
kemudian bunda melepas pelukannya dari ayah dan meraih kedua tanganku. “Desta
sayang, kamu tahukan kalau dulu kalian lahir kembar siam.” Bunda memastikan.
Aku cuma menganggukkan kepala.
Bunda diam sesaat dan menghapus air matanya. “Kalian hanya memiliki tiga betis,
dengan banyak pertimbangan bunda dan ayah memilih memberikan kaki sempurna pada
Desti. Dari hasil pemeriksaan sebelum operasi dokter menemukan ada kelainan
ginjal pada Desti.” Jelas Bunda.
“Saat itu ayah dan bunda berfikir
keputusan yang kita ambil merupakan yang terbaik dan paling adil bagi kalian.”
Tambah ayah.
Kakiku gemetaran lemas mendengar
penjelasan ayah dan bunda. Tongkat penompang badanku jatuhkan. Aku jatuh
terkulai dilantai tidak berdaya. Selama ini aku memusuhi Desti, membenci bunda
dan terkadang bersikap tidak perduli pada ayah. Beranggapan mereka tidak adil
dan lebih sayang pada Desti. Aku merasa benar-benar jahat pada mereka. “Kenapa
Desta baru dikasih tahu sekarang.”
Ayah mengangkatku duduk dikursi dan
memelukku. “Ayah dan bunda tidak ingin kamu ikut sedih, cukup kami saja. Ayah
nyakin dengan keadaan kamu sekarang, kamu sudah sangat menderita.”
Air mataku semakin deras mengalir
menyesali sikapku selama ini. Aku telah menciptakan rasa kebencian pada diriku
sendiri. Seharusnya hatiku peka terhadap keluargaku. Seharusnya aku tahu orang
tuaku tidak mungkin membeda-bedakan kami. Seharusnya aku juga peka kalau selama
ini bunda selalu bersikap sayang padaku. Ayah sangat perhatian dengan
membelikan buku-buku kesukaanku tiap kali bepergian. Aku menyesali diriku yang
rela dibodohi oleh kebencian hati sekeras batu.
***
Baru
aku ketahui beberapa hari lalu, tiap hari jum’at bunda mengantar Desti untuk
cuci darah. Selama ini aku mengira mereka bersenang-senang diatas
penderitaanku. Orang tuaku berusaha keras melakukan apa saja untuk
memperpanjang hidup Desti. Empat hari lalu dokter memvonis penyakit Desti
ditahap stadium akhir. Hari ini Desti di isolasi diruangan khusus dan kami
berkumpul didepan ruangan tersebut.
Pintu
ruang terbuka, seorang dokter keluar dan ayah segera menghampiri. “Bagaimana
dokter?.”
“Maaf,
kami sudah berusaha keras sebisa kami. Hanya ini yang bisa kami lakukan untuk
anak anda. Desti lebih membutuhkan kalian, berikanlah semangat hidup padanya.” Dokter
memberi penjelasan dengan bijak.
Aku
masuk ruangan disusul bunda dan ayah. Ooh, adik kembarku Desti terbujur lemas
dengan badan pucat seperti mayat. Aku dekati dan aku ngenggam tangannya. Dingin
sekali tangan ini, dia pasti amat kesakitan. Air mataku mengalir tanpa bisa aku
tahan. Desti membuka mata dan tersenyum padaku.
“Desta kenapa nangis?.”
Aku mengelengkan kepala, bibirku
tidak mampu bicara. Terlalu sulit untuk digerakkan. Aku mendengar Desti berucap
lagi. “Desta tolong jaga Irra untukku ya?. Sekarang dia menjadi milik dan tanggungan
jawabmu. Tolong gantikan aku melanjutkan hidup untuk meneruskan cita-cita
mengapai matahari. Aku sangat menyukai sinar terangnya.”
“Sudah cukup Desti, jangan bicara
lagi. Tidak akan terjadi apa-apa padamu. Kau akan hidup seratus tahun lagi.”
Hiburku pada diriku sendiri dan Desti.
“Ayah, bunda. Berjanjilah untuk
memberikan semua identitasku pada Desta.”
“Iya sayang.” Jawab bunda
tersedu-sedu.
“Desta, berjanjilah padaku kau akan
memiliki kaki dan berjalan normal. Pergi sekolah dan mengantikan aku bermain
bersama teman-teman.” Suara Desti semakin melemah membuatku ketakutan, takut
ditinggal oleh Desti.
“Bunda. Desti capek, Desti mau
istirahat.”
“Iya sayang, tidurlah dengan nyenyak.”
Desti memejamkan mata dan
menghembuskan nafas terakhirnya. Bunda menangis menderu memeluk Desti. Aku
hapus air mataku dan aku ucap “selamat jalan adiku. Bahagialah disana dengan
jiwa tenang. Aku akan melanjutkan kehidupanmu.” Aku tutupi kepala Desti dengan
selimut setelah ayah meraih bunda mengajak keluar ruangan. Aku tinggalkan mayat
Desti untuk diurus perawat. “Desti, kenangan dan semangatmu akan selalu ada dan
tumbuh dalam diriku.”
***
Danau
buatan yang diciptakan oleh pemilik wisata sangat indah dan sejuk. Membuat
sepasang kekasih merasa damai berada disitu. Wisata danau juga menyimpan mitos.
Bila sepasang kekasih naik perahu mengelilingi danau maka hubungannya akan
langgeng tidak terpisahkan. Aku dan Irra duduk di tepi danau berselonjor kaki bersandar
pohon. Pohon penuh bekas tulisan-tulisan tentang cinta sepasang kekasih. Hatiku
ragu-ragu ingin mengatakan kebenaran indentitasku sebenarnya. Dengan mengajak
Irra kedanau ini aku berharap tidak ada perpisahan bila aku mengatakan
kebenaran.
“Irra aku mau bicara sesuatu.”
“Bicaralah
sepertinya penting sekali.”
“Kau
lihat matahari itu, aku menyukai sinar terangnya.” Tunjukku mengarah pada
matahari. “Dia mampu memberi kehidupan pada setiap mahluk hidup dimuka bumi.”
“Terus.”
“Aku
inggin kamu tahu kalau aku sangat mencintaimu.”
“Aku
juga mencintaimu.”
“Tapi
yang kamu cintai Desti, bukan aku.”
“Maksud
kamu?.”
Aku
menarik nafas dan menghembuskannya. Aku takut kehilangan Irra kalau aku membeberkan
semuanya. Aku sudah banyak berbohong dari awal. “aku takut kehilangan kamu
Irr.”
“Desti
ada apa denganmu, bicaramu aneh!. Kamu bicara cinta melulu, padahal dulu aku
yang selalu mengatakan cinta dan aku curiga kamu tidak mencintai aku, tapi
sekarang…”
“Maaf
Irra, aku bukan Desti tapi Desta.” Jelasku.
Dahi
Irra berkerut. “Lalu Desti.”
“Desti
menitipkan kamu padaku dan aku melanjutkan seluruh kehidupan yang pernah Desti
jalani. Dia juga menyemagatiku untuk pasang kaku palsu dan terapi jalan. enam
bulan ini aku menjalani terapi di Singapur.”
“Sekarang
Desti dimana?.”
“Dia
sudah tidak ada dimuka bumi ini lagi. Keluargaku merahasiakan ini, ayah dan ibu
ingin aku hidup normal seperti anak-anak lain.”
“Kenapa
kamu bohong padaku.” Diam-diam Irra menitihkan air mata mendengar penjelasanku.
“Maaf
Irra. Aku takut kehilangan kamu, Aku sangat mencintaimu.”
Irra
menghapus air mata. “Aku mengerti, penyakit ginjal Desti sudah pada tahap
serius. Kasihan Desti, dia masih sangat muda dan harapannya belum tercapai. Aku
ikhlas melepas Desti pergi.”
“Desti
pasti bahagia disana. Karena aku yang akan mewujudkan harapanya.”
“Benarkah,
aku senang mendengarnya.”
Aku
diam sejenak. Ternyata Irra tidak marah dengan kebohonganku selama ini, dia
memahai kondisi kami. Aku tidak tahu apa harapan Desti sebenarnya. Apapun itu pasti
aku wujudkan. “Irra, maukah kamu menjadi pacarku?. Aku akan menunggu sampai kamu
dapat mencintaiku.”
Irra
memandangku dengan wajah sedih. “Aku baru saja tahu Desti meninggalkan aku. Aku
bisa menerima cintamu dengan satu syarat.”
“Aku
terima apa pun syaratnya asal kamu mau menjadi pacarku. Katakan apa yang kamu
ingin dariku.”
“Berjanjilah
kau akan mewujudkan harapan Desti. Jika jawabannya iya, aku bersedia menjadi
pacarmu.”
Tanpa
banyak kata aku peluk tubuh mungil disampingku dengan penuh kasih. “Itu sudah
menjadi kewajibanku mewujudkan impian Desti.” Aku biarkan kepala Irra bersandar
dibahuku. Aku mulai sadar cahaya matahari telah menerobos masuk kedalam hatiku.
“Irra,
apa harapan Desti sebenarnya.”
“Menjadikan
aku pengantinya.”
“Benarkah.”
Semakin
erat aku memeluk Irra. Seolah kami mahkluk paling bahagia dan danau menjadi saksi
cinta kita. “Saudaraku, aku telah mewujutkan cita-citamu. Kau pasti tersenyum
bahagia disana. Kau benar, ternyata mengapai matahari tidak sesulit yang aku
bayangkan. Terimakasi Desti, kami akan selalu merindukanmu.” @@@