Lihat List Koleksi CerPen Klik disini
PERNIKAHAN CINTA KEDUA
Halaman motto dan persembahan
Motto
Menjadi orang yang bijak, berilmu dan berahlak mulia
Persembahan
Sekripsi ini saya persembahkan kepada:
Allah SWT tuhan semesta alam...........
............................................................................
............................................................................
“Bang bagianku mana, ko’ nggak disebut di sini.”
“Eemm...., paling sepesial letaknya paling akhir.”
“Nguwombal tok peyan tu Bang*, inikan sudah revisian dan mau dijilid.”
“Kan belum dijilid, masih mau. Nanti aku buatkan paling sepesial buat peyan.”
“Sekarang saja, aku nyalakan labtopnya!, aku ngetik peyan yang merangkai kata–katanya.”
“Nggak sabaran baget sich.” Gurauku menanggapi permintaan Anisa, hatiku tersenyum senang setiap kali melihat muka Anisa masam karena candaku.
“ko’ gitu sih bang.” Bibir Anisa manyun mendegar ledekanku.
“gitu ae gambek**, ayo ketik.”
…………………………………………………………
Seseorang yang dijanjikan Allah menjadi sahabat sejatiku untuk bersama–sama berjuang dijalan—Nya dan menjadi kekasih hatiku untuk dunia–akhirat.
Anisa terlihat puas dengan rangkaian kalimatku. Semoga setelah wisuda aku bisa menyempurnakan kalimat tersebut sebagai kalimat pinangan. Pertemanan kami sudah cukup lama, aku tidak pernah meganggap Anisa sebagai kekasih tapi sebagai sahabat selalu saling membantu setiap kali dibutuhkan. Orang tuaku mengajarkan padaku, pacaran di Islam tidak dibenarkan. Aku berusaha menghargai apa yang diajarkan orang tuaku, tidak mengabaikan begutu saja apa yang menjadi nasehat mereka, meski terkadang aku mencoba membangkang atau melanggarnya.
***
Bumi seolah berputar menguasai diriku ketika aku mendengar ibuku punya hutang janji akan menikahkan aku dengan anak sahabatnya. Ya Allah bagaimana caraku menyampaikan semua ini pada Anisa. Bagaimana dengan janji–janjiku padanya, aku tidak sanggup menyakiti hatinya. Aku tahu Anisa selalu menolak setiap kali didekati laki–laki lain karena keberadaanku. Keadaan ini mengigatkan aku ketika megikuti pengajian di masjid tempat biasa aku sholat jama’ah.
“Wahai kaum adam, jangan sekali–sekali kamu menyakiti wanita, karena sama artinya kamu menyakiti saudara–saudaranya terlebih Bapaknya.”
Menolak kemauan ibuku sepertinya tidak mungkin, ibu terlalu kolot untuk hal ini, aku tidak berharap dianggap anak durhaka. Rasa sakit dan sesak di dada membuatku tidak sanggup menahan tumpahnya air mata. Aku ambil air wudhu untuk menyejukkan hati dan menjalakan sholat hajad, bila yang aku harapkan tidak mungkin terjadi maka semoga Allah menjadikan ini mungkin untuk terjadi.
“Astaghfirullohaladziim…,” Rintihku mengucap istigfar dan memutuskan esok menemui Anisa di kampus membicarakan masalah ini. ”Anisa maafkan aku bila masalah ini membuat kita tidak dapat bersatu. Tapi perlu engkau tahu, optimis di hatiku ingin slalu menjadikan dirimu halal bagiku.”
***
Sore hari kampus mulai terlihat sepi, tidak sebanyak ketika pagi atau siang hari. Beberapa siswa terlihat sibuk dengan labtop, mungkin mencari bahan untuk menyelesaikan tugas. Dulu ketika aku masih punya kelas kuliah juga seperti mereka, sangking sibuknya ngerjakan tugas terkadang aku lupa menyempatkan diri sekedar berucap hallo lewat sms/telepon pada Anisa. Bibirku tersenyum simpul mengigat kenangan indah bersama Anisa, mataku mengelilingi sekitar halaman fakultas mencari tempat kosong untuk bersantai bersama Anisa. Sudut dekat pos satpam, aku langkahkan kaki menuju kursi taman, tanganku merogoh saku mengambil hand phone dan jari–jari tangan memencet huruf demi huruf menulis pesan singkat memberi tahukan pada Anisa aku sudah sampai dan menemukan tempat bersantai.
Beberapa selang waktu kemudian kulihat Anisa berjalan dan tersenyum simpul kearahku. Seperti biasa dia tidak pernah luput dari senyum setiap kali melihatku. Dia tidak pernah benar – benar marah setiap kali aku membuat kesalahan, dia selalu tulus memberikan maaf padaku dan itu membuatku semakin suka padanya. Empat tahun kami bersahabat tidak pernah hubungan ini retak sedikit pun, Anisa selalu mengalah setiap kali ada problem diantara kami. Dia selalu membuat hatiku teduh, hari–hariku penuh warna meskipun kami jarang bertatap muka.
Aku membalas senyum Anisa sambil melambaikan tangan kearahnya. Dia terlihat senang sekali, langkahnya semakin dipercepat seolah takut ditinggal olehku. Aku merasakan senang yang sama, beban pikiran dalam otakku sekilas menghilang. Anisa selalu bisa mendamaikan hati, setiap kali bersamanya kebahagiaan selalu ada. Tapi untuk kali ini, setelah aku membeberkan masalah kami, apa dia tetap bisa tersenyum untukku. Haruskah tidak aku katakan pada Anisa, aku tidak ingin dia menderita karenaku.
“Sudah lama Bang nunggunya.” Sapa Anisa sambil duduk di depanku.
“Emm…, kira – kira dua puluh empat jam yang lalu.” Candaku.
Mata Anisa melotot kemudian bibirnya manyun cemberut dan menangapi candaku. “Candanya nggak lucu. Peyan mau ngomong apa sech, kayaknya penting baget.”
Keteduhan hatiku menghilang berubah kelam, lagit terasa gelap seakan datang hujan. Aku tundukkan wajah beberapa saat, berfikir sejenak dan kemudian kupandang wajah Anisa. Dia terlihat canggung dengan tatapanku dan mengalihkan pandangan dariku. Rasa tidak sanggup muncul menghalagi niatku mengatakan semua pada Anisa. Bila tidak aku katakan sekarang mungkin akan menjadi beban bagiku dan Anisa merasa semakin tersakiti. Lebih baik aku katakan sekarang apapun hasilnya. Bismillahirohmanirohim, aku berucap basmalah dalam hati.
“Nis.”
“Iya.” Dia mengarahkan padangan kearahku kembali.
“Maafkan aku.” Ucapku kemudian.
“Maaf.” Dahi Anisa berkerut menandakan tidak mengerti dengan maksud ucapanku. “Maaf untuk apa bang?, seingatku peyan nggak pernah bikin salah.”
“Ibu punya hutang janji menikahkan anak temannya dengan aku, dan aku baru tahu kemarin. Kamu tahu sediri, ibuku kalau sudah punya kemauan sulit dihentikan.”
Anisa menundukkan kepala, aku berharap dia tidak menitihkan air mata karena ulahku. Aku sungguh sangat menyesal, seharusnya dulu aku tidak menjanjikan pernikahan pada Anisa. Aku sudah membuat Anisa menunggu empat tahun, membuat penantiannya sia–sia. Aku terlalu larut dalam penyesalan, tanpa kusadari Anisa menatapku dengan mata berkaca–kaca, terlihat jelas dia ingin menumpahkan semua kemarahan dan kesedihan, namun ia tahan. “Apakah aku mengenal gadis beruntung itu?.”
“Kita sering ketemu dia di unit kegiatan mahasiswa, dia jurusan Biologi.”
“Karista maksud peyan?, aku mengenal baik dia.”
“Pernikahan tidak akan terjadi kalau Karista menolak, yakinlah Karista tidak akan menyukai pernikahan ini.”
“Karista akan sangat menyukai pernikahan ini, dia pernah bilang ingin menjadi pendamping peyan. Waktu itu aku tanggapi dengan senyuman karena aku sangat nyakin, akulah pemenangnya.”
“Maafkan aku Nis, bila aku tidak dapat menepati janjiku dan sudah menyita empat tahun waktumu.”
“Tidak perlu mintak maaf Bang, dan tidak akan ada yang sia–sia karena aku menunggu dengan tulus. Kita hanya memerankan sekenario Allah, dan kita pun tidak tahu apa yang ditulis kemudian hari. Jangan berprasangka buruk terhadapku, aku akan bahagia dan aku harap sampeyan menemukan kebahagiaan bersama Karista.”
***
Mungkin aku laki–laki paling jahat di dunia ini, setelah menyakiti hati Anisa yang selalu membuatku tersenyum, aku masih berani berbuat salah dengan keegoisanku. Masih terlihat jelas bayangan wajah Karista tersenyum masam, namun tetap kukuh memutuskan mengarungi hidup bersamaku. Cinta mungkin sebuah illusi, namun dapat membuat seseorang menghalalkan berbagaimacam cara tanpa berfikir jernih. Seperti diriku begitu berlebih untuk mendapatkan Anisa, berharap Karista menolak pinangan keluargaku dan aku tidak berfikir menjaga perasaan Karista. Karista, mungkin begitu mencintaiku dan tidak memperdulikan apa yang aku ingin setelah pernikahan.
“Apa pun yang mas Cahyo ingin lakukan setelah pernikahan, aku akan memberi ijin.” Tegas Karista.
“Termasuk bila aku ingin memadukan kamu setelah pernikahan kita, apa kamu akan tetap memberi ijin aku?. Tolak pinangan keluargaku bila kamu tidak tahan dengan kebijakanku, hiduplah bahagia dengan seseorang yang lebih baik dariku.”
“Tidak mas, aku mengingikan pernikahan ini, aku akan memeberi izin mas Cahyo menikah lagi.” Karista menjawab mantap.
“Pikirkan baik–baik, tidak akan kecewakah kamu hidup denganku nanti, jangan sampai kamu menyesali keputusan penting ini.”
“Keputusanku sudah bulat, aku tidak akan merubah keputusanku, aku berharapan mas Cahyo bisa memberikan sedikit cinta padaku.”
“Semua terserah padamu, kalau memang itu yang kamu inginkan aku tidak dapat berbuat banyak, satu hati pernah mengisi hidupku hingga saat ini masih ada pada diriku. Jika sedikit cita yang kamu minta dariku, cinta bisa tumbuh dengan berjalannya waktu. ”
Perjanjian sebelum pernikahan yang aku buat dengan Karista, perjanjian rahasia tidak seorang pun tahu bahkan orang tua kami. Setelah pernikahan ini terjadi aku baru menyadari dosa yang harus aku tanggung. Ibuku bernasehat untuk selalu membahagiakan Karista, menjaga kehormatanya sebagai istriku. Tidak mungkin aku abaikan begitu saja nasehat beliau, kenapa aku menjadi seperti seolah–olah manusia hidup tanpa arah. Aku selalu dipojokan janji–janji yang pernah aku ucap pada Anisa oleh diriku sediri. Aku selalu mencoba membuat hatiku tenang dan berfikir bahwa Anisa rela dan ikhlas aku hidup bersama Karista. Tapi cinta yang aku pendam untuk Anisa selalu berontak membuat hatiku galau. Aku ingin menepati janjiku menikahi Anisa.
“Bagaimana mungkin secepat ini aku memutuskan menikahi Anisa, pernikahanku dengan Karista baru berjalan tiga minggu, bagaimana dengan perasaan Karista. Tidak, aku tidak boleh melakukan hal ini, ini juga menyakut nama baik keluargaku.” Aku bergelut degan pikiranku.
Hidupku terasa kacau semenjak pernikahan ini terjadi. Aku mencoba bersikap tidak terjadi apa–apa pada diriku. Namun Karista wanita cerdas, dia dapat membaca kekacauan dalam diriku. Badanku semakin kurus, aku mulai merasakan demam merasuki tubuhku, beberapa hari kemudian aku tidak dapat menguasai diri, jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Keteguhan Karista merawat dan menjagaku di rumah sakit membuatku salut. “Tuhan, seberapa besarkah dosa yang harus aku tanggung mengabaikan istri sebaik dia.”
“Mas Cahyo masih ingat perjanjian yang mas buat sebelum kita menikah.” Tanya Karista santai sambil megupas apel dan membuatku berhenti menyuapkan potongan apel kemulut.
“Masih!!. Aku harap kamu melupakan perjanjian itu.”
Karista mengaduk–aduk tas pakaian yang dia bawa dan mengeluarkan selembar potongan kertas. “Aku ingin mas Cahyo menikahi wanita ini.” Karista menunjukkan foto Anisa padaku.
“Aku sudah tidak ingin menikahi Anisa. Dari mana kamu mendapatkan foto Anisa.”
“Maafkan aku mas, tanpa sengaja aku menemukan foto ini di dompet mas Cahyo. Aku mau mas Cahyo menikahi mbak Anisa. Aku sangat mengenal baik mbak Anisa, kita akan hidup rukun dalam satu keluarga.” Karista memohon padaku. Rupanya dia menemukan foto Anisa yang lupa aku singkirkan dari dompet.
“Tidak semudah itu Ris.”
“Aku akan mengatur semuanya, mas Cahyo cukup jaga kesehatan biar cepat sembuh dan keluar dari rumah sakit ini, karista sudah bosan berlama–lama di sini.” Ucap Karista sambil tersenyum simpul.
Ingin rasanya aku menitihkan air mata. Yaa Allah sunggu berdosanya diriku, selama dia menjadi istriku hanya kesengsaraan yang dia dapat dariku. Aku bukanlah suami yang baik, aku hanya membuat dia menderita. Karista tidak sepantasnya menyerahkan hidupnya mengapdi padaku. Karista istri sejati, tetap hidup semagat di bawah penderitaan yang aku ciptakan. Dia wanita yang sangat tegar, seharusnya aku bisa berbagi sedikit cinta untuknya.
***
Sore usai sholat ashar Karista berbisik di telingaku memberitahu ada kejutan buatku. Aku tersenyum melihat tingkah lucu Karista, dokter sudah memperbolehkan aku pulang besuk. Pasti itu kejutan yang dimaksud Karista, dokter memberi tahuku terlebih dulu sebelum Karista. Hand phone Karista disampingku berbunyi tanpa identitas nama, belum sampai aku mengangkat hand phone tersebut, Karista menyambar hand phone dan berucap salam. Karista hanya berucap iya dan mengangguk–anggukkan kepala kemudian menutup telepon. Mulutku terbuka mau menanyakan sesuatu, tapi keduluan Karista ijin keluar dengan terburu–buru tanpa menghiraukan aku.
Selang beberapa menit karista muncul dengan seseorang yang membuatku benar-benar terkejut. “Mas Cahyo ada tamu buat sampeyan.” Ucapnya padaku. ”Duduk mbak Anis, aku pergi sebentar menyelesaiakan atministrasi.” Karista mempersilakan duduk Anisa dan pamit keluar memberikan kesempatan pada kami untuk ngobrol.
Anisa masih seperti biasa selalu tersenyum bahagia di hadapanku. “Apakabar bang?.” Sapanya.
“Seperti yang kamu lihat Nis.” Jawabku sambil tersenyum membalas senyumnya.
“Karista banyak cerita tentang sampeyan, terimakasih sudah mau menepati janji. Aku cukup bahagia bisa lihat sampeyan bahagia dengan Karista. Tapi kalau boleh jujur, sejujurnya dalam hati aku tidak pernah rela sampeyan menikahi Karista. Aku masih sangat berharap bisa menikah dengan sampeyan dan membina rumah tangga seutuhnya.”
“Anisa”
“Sssssttt….” Anisa berdesis menaruh jari telunjuknya di mulut memotong bicaraku. “Jangan katakan apa pun, biarkan aku menyelesaikan kalimatku. Aku tidak pernah menyesal setia menunggu sampeyan hingga detik ini. Aku yakin penantianku ini pasti berujung, dan sekarang terbuti Karista meminta sampeyan menikahi aku. Karena itu aku ingin sampeyan bangkit seperti dulu menjalankan prinsip dengan bersikap bijak, mengamalkan ilmu dan selalu berusahan menjadi manusia yang berahlak mulia. Lihat Karista, dia jauh lebih baik dariku, mungkin dia sudah mendapatkan kunci memasuki pitu surga. Karista setia berbakti apapun adanya sampeyan, sedangkan aku hanyalah satu hati yang pernah sempat mengisi hidup sampayan lebih dulu dari pada Karista. Satu hati yang membuat kehidupan sampeyan kacau, membuat hati sampeyan terombang–ambing oleh rasa bingung bersikap. Maafkan aku Bang, semoga Allah mengampuni dosaku.”
Pintu kamar dibuka Karista, Anisa beranjak dari tempat duduk dan memeluk Karista membisikkan sesuatu. Karista tersenyum mendengar bisikan Anisa. Aku hanya menjadi penonton dari tempat tidur kamar rumah sakit. Tidak ada sedikit pun yang luput dari amatanku, Anisa mengeluarkan sebuah amplop putih dari tasnya dan memberikan pada Karista. “Terimakasih sudah mengizikan Bang Cahyo menikahiku. Tetap jagalah abang dengan penuh kesabaran. Semoga kita menjadi salah satu diantara wanita–wanita penghuni surga firdaus Allah.” Ucapnya dengan senyuman bahagia.
“Sampai jumpa bang, aku menanti sampeyan.” Anisa berpamitan padaku, dan aku balas senyum serta anggukkan kepala.
Selang beberapa menit kepergian Anisa, azand magrib berkumandang bersamaan dering hand phone Karista. Karista meraih hand phone itu dan menyapa dengan salam. “Assalamu’alaikum.” Dahi Karista berkerut. “Iya benar.” Jawab Karista. Wajah karista berubah tegang, tangan meremas ujung bawah blus seolah ketakutan. “Innalillahi wainnailaihi roji’un.” Ucapnya kemudian. Karista menutup telepon dan menitihkan air mata.
“Ada musibah apa Ris.” Tanyaku kemudian.
“Mbak Anisa mas, dia mengalami kecelakaan.” Isak tangis Karista mulai terdengar.
Jantungku berdetak kencang tiba –tiba, rasa takut terjadi sesuatu pada Anisa merasuki hatiku. “Innalillahi wainnailaihi roji’un.” Jawabku kemudian.
“Kita tunaikan sholat magrib, berdo’a semoga tidak terjadi hal buruk pada Anisa.” Aku mengajak Karista sholat berjama’ah. Diakhir penutup do’a Karista memelukku dari belakang, dia menangis sesenggukan berurai air mata. Bahu belakang kiriku terasa hangat oleh sentuhan air mata Karista. Aku remas–remas tangan Karista untuk menenangkan hatinya.
“Ini tidak akan terjadi kalau aku tidak mengundang mbak Anisa kesini, maafkan aku mas.” Tangis Karista semakin menjadi menyesali apa yang sudah terjadi hari ini.
“Apa yang terjadi hari ini merupakan kehendak Allah Karista.”
“Anisa meninggal dalam kecelakaan itu mas.” Ucap Karista dengan nada tinggi disertai deru tangis penyesalan dan melepas pelukan. Karista beranjak pergi mengabil amplop putih untuk diberikan padaku. Aku sangat terkejut mendengar ucapan Karista, untuk beberapa detik aku tercengang tidak percaya dengan ucapan Karista. Hingga kemudian aku tersadar dengan sodoran amplop dari tanggan Karista. “Mbak Anisa menitipkan ini padaku sebelum dia pamit pulang dari sini.”
Mataku mulai berkaca–kaca menyadari kebenaran berita tentang kematian Anisa. Kenapa Allah tidak memberi kesempatan pada Anisa untuk menjalankan sunah rosul–Nya. Memberi kesempatan pada kami untuk memadukasih atas ridho–Nya. Aku buka amplop putih berisi selembar surat. Surut terakhir Anisa untukku, aku tidak menyangka sore ini adalah pertemuan terakhirku dengan Anisa. Anisa yang pernah mewarnai hidupku dengan kebahagian, mengajariku untuk semangat hidup meraih impian.
Surabaya, 20 Februari 2012
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Rindu sedalam cinta dihati,
Ketika Karista meminangku untuk sampeyan nikahi, aku sangat bahagia. Kebahagiaan yang aku rasakan melebihi apapun yang ada di dunia ini. Aku membayangkan kita akan hidup berdampingan hingga nanti tutup usia. Sunggu indah rumah tangga yang kita bina nanti. Aku akan menjadi ibu dari anak–anak sampeyan kelak. Dalam lelap tidurku penuh dengan mimpi – mimpi indah masa depan kita. Setiap waktu senggang aku selalu tersenyum membayangkan kehadiran sampeyan.
Bang cahyo masih ingat pertama kali kita ketemu?, sejak saat itu sampeyan menganggu pikiran dan batinku. Aku biarkan rasa itu tumbuh tersimpan dilerung hati dan jiwaku. Hingga terasa hidupku hampa tanpa sampeyan dan sepi merasuk dalam jiwaku. Seyum sampeyan menjadi bahagiaku, dan tangis sampeyan menjadi lukaku. Aku bahagia dengan rasa di hatiku ini, akan kusimpan dan tidak akan kubiarkan rasa ini mati.
Terimakasih sudah mengisi kisah hidupku dengan keindahan–keindahan yang sampeyan ciptakan. Sampaikan permintaan maafku untuk Karista, aku tidak bisa menikah dengan sampeyan. Relakan aku bahagia dengan yang lain, dan aku harap sampeyan akan selalu bahagia bersama Karista. Aku ingin sampeyan selalu ingat bawah aku ada sebagai teman hati sampeyan. Maka aku titipkan cintaku dihati sampeyan, semoga cinta kita kelak bertemu disurga. Amien.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Senyum bahagia,
Anisa Retnaning
Air mataku mengalir membasahi pipi, rasanya sudah lama sekali aku tidak menitihkan air mata. Mungkin ini cobaan sekaligus hukuman Allah bagiku yang selalu saja mementingkan ego. “Ya Allah ampuni dosa kami, tempatkan orang yang aku kasihi Anisa ditempat paling indah disisi–Mu. Pertemukan cinta kami kelak disurga, jadikan kami sepasang pemadu kasih yang Engkau ridhoi dikehidupan lain yang Engkau ciptakan.” @@@
Ikhlas, February 2012
By : Lphie Khasanah.
Terimakasih Sudah Berkunjung Ke Blog kami, SEMOGA BERMANFAAT!!!
HUBUNGI KAMI: