Lihat List Koleksi CerPen Klik disini
DENDAM TERSELUBUNG
Hari senin pukul
07.40 wib lantai dua ruang kelas XI IPS.1 Madrasah Aliyah. Ruang kelas terasa
hening tidak seperti biasa. Aku tepis rasa parno sejauh – jauhnya, mungkin
mereka kecapekan setelah upacara. Upacara berjalan cukup lama dari seharusnya,
ketua yayasan yang bertugas menjadi pembina upacara memang doyan bicara. Tidak
peduli resah para peserta upacara mengeliat seolah cacing kepanasan menahan
rasa capek.
Aku sapa seluruh
siswa mengajak membuka buku untuk mencerna setiap penjelasan yang aku
sampaikan. “Dalam seni teater ada tiga latihan dasar, yaitu olah rasa, olah
tubuh dan olah vocal.”
Tiba – tiba.
“Gubraaak.” Seorang siswi pinsan terjatuh dari tempat duduk. Kelas mulai gaduh,
aku perintahkan beberapa siswa mengangkut siswi pingsan keUKS. Namun, beberapa
detik kemudian siswi lain menyusul pingsan. Berikutnya disusul siswi lain
hingga dua belas siswa putri dalam ruangan tersebut pinsan keseluruhan. Kelas
semakin gaduh dan aku panik binggung harus berbuat apa.
Sebuah telapak
tangan menyolek lenganku. Aku toleh mencari pemilik tangan. Rupanya pak Kurozi
pengajar kelas sebelah XI IPS.2. Mungkin beliau terganggu oleh suara gaduh
siswa dan datang kemari. Dengan sigap pak Kurozi memimpin siswa putra membawa
yang pisan turun kebawah. Sekolah mulai kacau, siswa kelas lain pun keluar
ruangan ingin tahu yang sedang terjadi.
Aku lupakan
materi pelajaran hari itu, beralih sibuk menyadarkan siswa pingsan. Hampir lima
belas menit berlalu siswa tidak kunjung sadar. Kebinggungan kami membuat kepala
sekolah memberi perintah satpam untuk memangil dokter puskesmas.
“Aaaaaaa…
Aarrgg…”
Aku dan beberapa
guru lain tersentak kaget dan menoleh pada sumber suara. Siswi itu sadarkan
diri, menggerang, teriak, dan berontak seolah – olah ingin menyakiti diri sendiri.
Kuat tenaga yang dikeluarkan membuat kami kewalahan memegang. Belum habis rasa
panik dan bingunggung siswa lain menyusul mengalami hal sama. Teriakan –
triakan histeris bersautan, menangis, menggerang, berontak bahkan ada yang
tertawa – tawa sambil ngomel.
Rasa takut dan
kawatir merasuki diriku. Ingin rasanya pergi keluar dari gedung sekolah tak mau
terlibat dalam kejadian. Sudah dua tahun aku mengajar baru kali ini terjadi hal
semacam ini. Apa yang salah dengan sekolah ini, bulu kudukku merinding. Ketua
yayasan datang menghapiriku dan menyuruhku keluar ruangan seolah tahu apa yang
aku rasakan.
Sodoran segelas
air mineral kuterima dan aku teguk hingga habis. “Mereka semua kesurupan.” Ucap
kepala sekolah sendari tadi memperhatikan gerak – gerikku.
Tarikan nafas
panjang dan aku hembuskan mencoba menepis resah dan sesak di dada. Hari senin
panjang, serasa berbulan – bulan berada di sekolah. Teriakan – teriakan masih
terdengar melengking dari ruang guru yang memang bersebelahan dengan ruang yang
di pakai penyembuhan. Aku lihat jam dinding menunjukkan pukul 15.30 Wib. Masih
ada satu siswa, makhluk yang merasukinya tak kunjung keluar.
Ketua yayasan
bersama empat guru laki – laki yang bisa menyembuhkan kesurupan menemuiku. “Bu
maaf, makhluk yang merasuki siswa kita adalah Dhea yang enam bulan lalu
meninggal kecelakaan.”
Aku terbengong,
memory enam bulan lalu muncul di benakku. Waktu itu aku marah besar pada Dhea.
Selain lupa bawa hasil kerja kelompok dia juga terlambat datang masuk kelas.
Yang membuatku marah, dia terlambat mampir kerumah teman cowok memberikan sport
karena si cowok mau sparing footsal. Aku bakal memberi izin dia masuk kelas
kalau dia bawa tugas hasil kerja kelompoknya. Dan ketika pelajaranku usai
kantor digaduhkan dengan berita Dhea kecelakaan meninggal di tempat.
“Bu, tolong
minta maaflah pada Dhea. Mungkin itu yang bisa membuat Dhea tidak menggangu
teman – temannya lagi.” Ucap ketua yayasan. “Bukannya saya menyalahkan Ibu.”
“Ya, saya
mengerti pak.” Jawabku menyadari kesalahan.
Aku langkahkan
kaki menuju ruang penyembuhan diikuti ketua yayasan dan yang lain. Aku ucap
maaf tulus dari lubuk hati dan mengatakan pada Dhea bahwa dia boleh ikut
pelajaranku kapan saja. Memintanya untuk tidak menggangu teman – teman dan
mengajak pergi teman gaibnya dari sekolah. Dhea bersedia pergi untuk saat itu
namun belum bisa memaafkanku.
Setiap sujud aku
bermunajat memohon ampun dan ampunan bagi Dhea semoga mendapatkan tempat paling
baik di sisi Allah. Sampai saat ini pun setelah tiga bulan berlalu aku tidak
pernah putus menyambung do’a untuk Dhea. Namun hingga detik ini sepertinya dia
belum juga memaafkan aku. Hampir setiap hari senin siswa XI IPS.1 ada yang
kesurupan dan aku pun sudah terbiasa dengan keadaan ini. Memberi maaf dengan
tulus ikhlas memang sulit. Semoga Allah segera memberi jalan terbaik bagi kami.
Amien. ***
AND
Penyesalan, Februari 2013
By : Lphie Khasanah.
Lihat List Koleksi CerPen Klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar