Senin, 03 Desember 2012

Cerpen Budaya _ "EKSPEDISI WISATA BUDAYA"

list Koleksi cerpen lihat disini

EKSPEDISI WISATA BUDAYA

Perdebatan tentang kunjungan wisata budaya akhir tahun. Aku bersikukuh ingin mengunjungi Banten, sedang ayah dan yang lain menentukan pilihan Papua. Sudah jadi tradisi keluarga kami setiap libur akhir semester mengadakan kunjungan wisata budaya. Nenek dan Kakek seorang seni dan budayawan, dari kecil kami di didik mencintai seni budaya Indonesia. Cerita nenek dan kekek tentang kebudayaan Banten membuatku terpukau dan segera mempelajari seni budaya yang ada. Darah seni yang mengetal pada diriku membuat hati nurani mengambil jurusan seni budaya dikuliahku. Kini aku sudah semester tujuh disalah satu Universitas swasta Surabaya.
Kebijakan Ayah akhirnya mengijinkan aku tidak ikut rombongan dan berangkat sendiri ke Banten. Segudang nasehat aku terima dari Ayah sebagi bekal perjalanan dan menyertai keberangkatanku. Ayah menganggapku sudah dewasa, mampu menjaga diri sendiri. Aku kecup punggung tangan kedua orang tuaku, nenek, kakek dan kening kedua adikku. Lambaian tanggan mereka mengiringi keberangkatan travel yang aku tumpangi. Mereka sangat menyayangiku, aku bangga hidup ditengah-tengah keluargaku.
Desa Walantaka, Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang. Travel yang aku tumpangi  berhenti tepat didepan sebuah rumah kuno. Ketika travel berlalu pergi, aku baru sadar bila kampung ini terlalu sepi. Aku dekati pintu rumah dan mengetuk pintu sambil berucap salam, namun tak terdengar sepatah kata pun dari dalam. Rasa kecewa dan putus asa membuatku lunglai dan rebahan ditangga teras rumah. Tidak berapa lama terdengar remaja pria menegur.
“Engkang, saha?.”
Aku hampiri remaja itu dan menunjukkan secarik kertas padanya. “Alamat ini benar disini?.”
“Ya.” Dia menganggukkan kepala. “Engkang mencari aki?.”
“Begitulah!, bisa kita bicara ditempat yang lebih nyaman?.”
“Boleh saja, mari masuk kedalam, aku cucu aki Nawawi.”
“Kampung ini terlihat sepi, pada kemana mereka?.” Tannyaku.
“Hari ini ada kumpulan desa. Hampir semua penduduk termasuk aki kumpul dibale desa.”
Setelah perkenalan kami gobrol panjang lebar, aku ceritakan maksud kedatanganku. Sigit, nama remaja yang mengaku cucu aki Nawawi, dia sangat ramah dan enak diajak bicara. Ditengah asiknya kami ngobrol, aki Nawawi datang menghampiri kami. Senyum ramah aki Nawawi memberi kesan damai hati membuat aku tidak segan ngobrol dengan beliau. Singit berceloteh tentang siapa aku dan maksud kedatanganku kemari seolah dia sudah akab denganku. Aki Nawawi menyambut gembira maksud kedatanganku namun beberapa detik kemudian beliau menarik nafas panjang dan dihembuskan.
“Debus.” Sebut aki dengan pandangan kosong menerawang jauh. “Sudah lama sekali semenjak kakek kamu dan aki muda dulu.” Aki Nawawi menghentikan ucapan sejenak seolah menyesali sesuatu. “Sangat disayangkan keberadaan debus makin lama kian berkurang, para pemuda lebih suka mencari mata pencaharian lain. Memang atraksi ini cukup berbahaya untuk dilakukan, tidak jarang banyak pemain debus celaka kurang latihan atau ada yang jahil dengan pertunjukan. Makin lama warisan budaya ini semakin punah. Dulu setiap hari kita dapat melihat atraksi, tapi sekarang atraksi debus hanya ada pada saat event–event tertentu.”
Aku kecewa dengan penuturan aki Nawawi, masih terekam jelas cerita nenek dan kakek tentang Propinsi Banten terutama mengenai warisan budaya DEBUS. Waktu itu kata kakek: “Sebagian besar anggota masyarakat Banten memeluk agama islam dengan semangat religius tinggi, tetapi pemeluk agama lain dapat hidup berdampingan dengan damai. Warisan budaya debus sangat fenomena, atraksi berupa kekebalan tubuh menusuk perut dengan benda tajam, mengiris tubuh dengan golok sampai terluka atau tanpa luka, makan bara api, memasukkan jarum panjang ke lidah, kulit, pipi sampai tembus dan tidak terluka. Mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah tapi dapat disembuhkan seketika itu juga, menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian melekat dibadan hancur, mengunyah serpihan kaca, membakar tubuh dan semua dilakukan oleh debus.”
Rasa kecewaku terobati ketika aki Nawawi mengatakan dalam dekat ini akan ada pertunjukan debus memperingati hari jadi desa Walantaka. Kata beliau aku dapat mempelajari dan mengadakan penelitian tentang seluk beluk debus dalam beberapa minggu ini. Aki Nawawi merupakan  pimpinan pertunjukan debus di desa Lawantaka. Setiap akan ada pertunjukan, pemain debus berkumpul dan latihan di halaman rumah aki Nawawi.
***
            Tidak terasa sudah dua minggu aku berada di Banten tepatnya desa Walantaka. Sore itu seperti biasa para pemain debus berkumpul dihalaman rumah aki Nawawi berlatih bersama. Kegiatan ini sudah berlangsung sekitar seminggu semenjak aki mengkibarkan bendera semangat berlatih untuk pertunjukan debus. Aku memberikan semangat dengan ikut latihan bersama mereka, berusaha mengikuti gerakan silat yang mereka pelajari meski kesulitan. Sigit sangat lihai memperagakan gerakan jurus-jurus ciptaan aki Nawawi. Aku berdecak kagum ketika Sigit salto diatas barisan golok tampa terluka.
            Latihan berakhir menjelang magrib dan mereka biasa tidak langsung pulang. Menunggu azand mangrib untuk sholat berjama’ah sambil mengantri mandi merupakan kenikmatan tersendiri. Tempat pemandian umum sumur tua dan sepetak kamar mandi tanpa atap disamping rumah aki menjadi tempat favorit membersihkan badan dari bau keringat. Disela-sela istirahat inilah aku  sharing mengali info tentang debus dari mereka. Biasanya mereka akan berlatih kembali setelah sholat isya’ berjama’ah.  Berbagai macam hidangan kas serang disediakan nini istri aki Nawawi usai sholat magrib.
            Geladak dibawah pohon rambutan menjadi tempat paling nyaman untuk melepas leleh atau sekedar bersantai. Secangkir kopi menjadi pelengkap bagi siapa saja pemguna geladak tak terkecuali aku. Aku rebahkan badan diatas geladak sambil memandangi rimbun daun rambutan malam itu. Cerita aki Nawawi, pohon rambutan ini tidak pernah berbuah dan sudah ada sejak Sigit belum lahir. Memang aneh bila tidak pernah berbuah, pohon rambutan ini terlihat subur dan sangat rimbun daunnya. Lamunanku dibuyarkan oleh suara gebrakan geladak dipukul seorang pemuda sedikit lebih tua dariku.
            “Pertanyaan apa lagi yang akan kamu ajukan pada kami sobat.” Tanya pemuda tersebut sambil ikut tiduran disampiku. Sepertinya dia sudah hafal kebiasaanku seminggu ini.
            “Katanya kalian kebal terhadap benda tajam. Bagaimana kalian bisa melakukan hal itu?.” Aku toleh pemuda tersebut berharap jawaban.
Dia senyum simpul tidak menjawab seolah berfikir sesuatu. “Untuk bisa melakukan atraksi setiap pemain mempunyai syarat-syarat berat, sebelum pentas kami melakukan ritual-ritual yang diberikan aki Nawawi. Biasanya ritual dilakukan satu sampai dua minggu sebelum atraksi dilakukan. Selain itu kami juga dituntut mempunyai iman kuat dan harus yakin dengan ajaran islam. Pantangan bagi kami pemain debus, tidak boleh minum minuman keras, main judi, bermain wanita, atau mencuri. Dan pemain juga harus yakin dan tidak ragu-ragu dalam melaksanakan tindakan tersebut, pelanggaran yang dilakukan oleh seorang pemain bisa sangat membahayakan jiwa pemain itu sendiri.” Jawabnya kemudian.
            “Memang tidak ada yang mudah untuk mendapatkan sesuatu.” Komentarku.
            “Engkang…! ayo sholat jama’ah.” Teriak Singit memangil kami. Sepertinya kami keasikan diskusi hingga tidak mendengar suara azand isya’. Setelah itu kami akan berlatih lagi sampai pukul sepuluh malam. Mengikuti aktifitas meraka sangat menyenangkan walau badan memar-memar namun tidak terasa sakit atau pun lelah. Mungkin rasa sakit dan lelah itu hilang karena kami setiap usai latihan malam hari harus minum ramuan yang diracik oleh aki Nawawi. Dari bau yang tercium sepertinya ramuan itu hanya terbuat dari tumbuhan toga seperti kunyit, temulawak dan sejenisnya.
            Rupanya benar apa yang dikatakan Fulan. Aki Nawawi memberikan syarat- syarat  ritual yang harus dilakukakan pemain sebelum atraksi debus dua minggu akan datang. Aku tidak tahu syarat apa yang dilakukan setiap pemain, karena aki memberikan syarat itu secara rahasia dan setiap pemain menjaga rahasia syarat itu. Rasa ingin tahuku tentang syarat tersebut membuatku ingin belajar lebih keras sebagai pemain depus. Saat itu juga aku sampaikan niatku pada aki Nawawi namun aki berkata tidak sesuai kehendakku. Seolah beliau bisa membaca hati dan pikiran dalam otakku.
            “Nafsu berlebihan tidak akan menghasilkan apa-apa, justru akan berakibat keterpurukan dan membuang-buang waktu saja.” Nasehat aki Nawawi.
            Aku sadari tidak mungki dalam waktu sesingkat itu aku bisa menguasai perihal debus. Mungkin butuh waktu berbulan-bulan atau bahkan tahunan untuk menguasai debus. Benar nasehat aki Nawawi aku hanya mengandalkan emosi dan nafsu untuk segera mengetahui syarat bisa memainkan debus. Beliau juga mengatakan salah satu syarat menjadi pemain debus adalah telaten dan sabar menunggu saat itu tiba. Rahasia yang tersimpan dalam debus memberi ide padaku untuk melakukan Praktik Kerja Lapagan di desa Walantaka. Praktik Kerja Lapangan merupakan salah satu mata kuliah yang harus aku tempuh pada semester kali ini. Dengan begitu aku akan bisa belajar lebih banyak tentang debus dan memberi gebrakan pada masyarat untuk membangun kebudayaan yang sudah diwariskan nenek moyang.
***
            Akhirnya saat yang aku tunggu-tunggu tiba, semua pemain debus sibuk dengan kebutuhan dan poperti masing-masing. Aku pun sibuk dengan keperluanku sediri, sebuah kamera aku gantukkan dileher untuk mengabadikan kegiatan yang akan berlangsung. Dua pick-up menjadi transportasi kami menuju lokasi atraksi debus. Dari atas Pick-up terlihat banyak sekali penontan menyambut atraksi debus. Betapa antusiasnya mereka, mulai dari yang kecil hingga nenek-nenek hadir disitu. Setelah membantu menurunkan barang bawaan dari motor Pick-up aku segera mengabadikan moment tersebut.
Atraksi debus dimulai, Sigit dan Fulan serempak berucap kalimat. “Haram kau sentuh kulitku, haram kau minum darahku, haram kau makan dagingku, urat kawang, tulang wesi, kulit baja, aku keluar dari rahim ibunda. Aku mengucapkan kalimat laa ilaha illahu.” Setelah mengucapkan mantra mereka berdua kebal terhada semua jenis benda tajam.
Penonton semangat teriak antusias melihat setiap adengan yang dilakukan oleh pemain debus. Semangat penonton tidak luput dari bidikan kameraku. Aku tidak ubahnya mereka para penonton, terkagum-kagum melihat atraksi pemain debus. Terbukti sudah cerita nenek dan kakek tentang warisan budaya debus. Namun sunggu disayangkan bila warisan budaya ini semakin hari kian berkurang tergeser oleh perubahan jaman dan modernisasi. Sebagai penerus generasi bangsa tidak rela aku membiarkan warisan budaya ini menghilang. Aku telepon calon dosen pembimbingku untuk matakuliah Praktik Kerja Lapangan. Aku mengajukan izin pada beliau untuk melaksanakan Praktik Kerja Lapangan di Propinsi Banten. Sebuah judul laporan juga aku sampaikan pada beliau “Membangun Kebudayaan Banten Lewat Gebrakan Debus”. Beliau tidak banyak tanya dan langsung mensetujui permohonanku.
Impianku mengembalikan debus seperti dahulu menyebar diseluruh wilayah Banten. Lewat laporan mata kuliah Praktik Kerja Lapangan nantinya ingin aku beritahukan pada pemerintah bahwa kebudayaan Banten perlu perhatian lebih agar tidak semakin terjerumus dalam kepunahan. Untuk mewujudkan tujuan awal, mulai hari ini aku berjanji pada diri sendiri untuk meningkatkan pemahaman sumberdaya manusianya terhadap kebudayaan. Selanjutnya membuka jalur komunikasi dengan para pelaku seniman, sejarahwan, musisi, artis, arkeolog, pustakawan, sastrawan, ahli bahasa, dan pemangku adat dari semua kelompok masyarakat yang ada di Banten.
Dengan cara seperti ini aku nyakin kebudayaan Banten nantinya akan kembali berkembang diseluruh wilayah Banten. Buku catatanku penuh dengan misi dan tujuan keberadaanku di Banten. Menambah pengetahuan tentang kebudayaan Banten untuk mencapai misi dan tujuanku di Banten sangat perlu. Selanjutnya aku akan melanjutkan perjalanan ekspedisiku ke desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak.
Seperti cerita Nenek, Suku Baduy dalam merupakan suku asli sunda Banten yang masih menjaga tradisi anti modernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya terletak di daerah aliran Sungai Ciujung di pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah tanah titipan dari nenek moyang yang harus dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh dirusak.
“ESKPEDISI suku Baduy, Let’s Gooo….!!!.”

@@@
21 Oktober 2012
By : Lphie K.
     
list Koleksi cerpen lihat disini

1 komentar:

  1. http://nalurerenewws.blogspot.com/2018/08/taipanqq-6-aktivitas-sehat-yang-cocok.html

    Taipanbiru
    TAIPANBIRU . COM | QQTAIPAN .NET | ASIATAIPAN . COM |
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID terbaik nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
    BandarQ
    AduQ
    Capsasusun
    Domino99
    Poker
    BandarPoker
    Sakong
    Bandar66

    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : E314EED5

    Daftar taipanqq

    Taipanqq

    taipanqq.com

    Agen BandarQ

    Kartu Online

    Taipan1945

    Judi Online

    AgenSakong

    BalasHapus